DASAR-DASAR PENDIDIKAN
PERAN ULAMA DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN
Dosen
Pengampu : M. Tisna Nugraga, S. Pd. I, M.S.I
Di Susun :
O
L
E
H
Nama
: Muhammad Taufiq
NIM
: 1111111171
Kelas/Semester
: II “ D “ / Genap ( II )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
KOTA PONTIANAK
TAHUN PELAJARAN 2012
Kata Pengantar
Makalah
ini di susun bartujuan untuk memenuhi kebutuhan literature mata kuliah Dasar-Dasar
Pendidikan
Karna
mata kuliah ini merupakan sebuah study yang menjelaskan tentang pendidikan,
maka uraian materinya mencakup tentang Peran Ulama dalam Institusi Pendidikan
namun di sajikan dengan sederhana dan ringkas. Dengan kata lain, mata kuliah
ini sekedar memberikan ilmu yang berkenaan dengan Dasar-Dasar Pendidikan
Karya
ini merupakan pengembangan suatu pemikiran Ilmuan yang disusun secara ringkas
dalam pengampu mata kuliah tahun 2012. Kendati telah di susun dengan seksama,
dengan memperhatikan kepentingan bersama pada strata satu, makalah ini pastinya
tidak luput dari kelemahan dan
kekurangan. Karena itu saran dan kritik anda kami harapkan.
Akhirnya,
semoga penyajian makalah ini dapat membantu kita semua dalam mata kuliah Dasar-Dasar
Pendidikan atau pihak yang ingin mengenal Suatu Pemikiran Pendidikan secara
umum. Kepada pihak yang sudah membantu hingga makalah ini selesai, saya
ucapakan terima kasih, semoga Allah membalas dan menilainya sebagai amal
shaleh.
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar
.................................................................
ii
2. Daftar Isi ............................................................................
iii
3. BAB I
-
Pendahuluan
..................................................
1
4. BAB II
-
Fungsi dan Peran Ulama
.............................. 2
-
Pengertian Ulama
.......................................... 2
-
Ulama Sebagai Ahli Waris Nabi
.................. 4
-
Fungsi dan Tanggung Jawab Ulama di Masyarakat .....
5
5. BAB III
-
Institusi Pendidikan Islam
............................. 6
-
Pengertian Institusi Pendidikan Islam
......... 6
-
Lembaga-Lembaga Kependidikan Islam .....
7
6. BAB IV
-
Posisi Ulama ditengah Modernisasi Pesantren
............... 9
-
Pengertian Pondok Pesantren
........................ 9
-
Posisi Ulama di Pondok Pesantren ................
9
-
Modernisasi Manajemen Pondok Pesantren
..... 10
7. BAB V
-
Penutup
...........................................................
12
-
Kesimpulan .....................................................
12
Daftar Pustaka .......................................................................
13
PERAN ULAMA DALAM INSTITUSI
PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa ulama menempati posisi sangat penting di
masyarakat. Karena memiliki otoritas tidak hanya di bidang keagamaan, sosial,
politik tetapi juga pendidikan. Lembaga pendidikan eperti kuttab, masjid,
madrasah dan lain-lain adalah sumbangsih ulama. Melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan dan kitab-kitab yang ditulisnya, ulama bertindak
sebagai penerjemah doktrin-doktrin islam yang otoritatif, dan sekaligus sebagai
jembatan dari proses transmisi nialai-nilai keagamaan, khususnya yang melalui
pendidikan.[1]
Dalam
Islam, ulama memiliki beberapa peran sosial keagamaan. Pertama, sebagai guru
yang mengajarkan cara membaca al-Quran dan ajaran Islam. Kedua, sebagai
penafsir ayat al-Quran untuk menjawab beberapa hal dalam masyarakat, dan
sebagai hakim yang memutuskan perkara jika ada perselisihan di antara kaum
muslimin. Dan yang ketiga, seagai mubaligh yang berdakwah untuk meyebarluaskan
ajaran Islam.
Ulama sebagai ahli waris para nabi,
memiliki fungsi dan tanggung jawab yang cukup berat. Salah satu di antara
fungsi ulama adalah membimbing dan membina umat Islam. Dengan fungsi itu, ulama
wajib mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.[2]
Untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya, ulama paling
tidak melaksanakan dua aktivitas yakni :
Pertama,
menyampaikan dakwah atau penyuluhan agama kepada seluruh masyarakat Islam yang
ada di sekitarnya melalui khutbah dan ceramah di mesjid-mesjid, atau melalui
media massa.
Kedua, mendirikan
sebuah pesantren untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para santri.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam yang didirikan oleh seorang atau beberapa ulama, mengakibatkan peran
ulama sangat fenomenal dan signifikan dalam kesinambungan atau eksistensi
sebuah pesantren. Karenanya, segala sesuatu yang berlaku dalam pesantren
tersebut, sangat tergantung pada sistem leadership ulama yang
bersangkutan.
Pola kepemimpinan pesantren seperti
ini telah mendapat sorotan dari berbagai pakar pendidikan dan ilmu ke-Islaman.
Nurcholish Madjid misalnya, menganggap pola seperti itu tidak demokratis,
feodal, dan sukar tunduk pada manajemen modern. Akibatnya, sistem pendidikan
dan manajemen pesantren tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain di
era informasi dan globalisasi dewasa ini.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
FUNGSI DAN PERAN ULAMA
A.
Pengertian Ulama
Dari segi etimologis, kata ulama (علماء )
adalah bentuk plural dari kata عالم , yang artinya orang-orang yang
mengerti, orang yang berilmu, atau orang yang berpengetahuan. Dengan
pengertian ini, ulama adalah para ilmuan, baik di bidang agama, humaniora,
sosial, dan kealaman.
Dalam perkembangannya kemudian,
pengertian ini menyempit dan hanya dipergunakan oleh ahli agama. Karenanya,
secara terminologis, ulama berarti orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan
agama Islam. Dengan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan ulama adalah
khusus orang yang mendalam ilmunya tentang agama Islam dengan segala cabangnya,
seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, nahwu, sharaf, dan balagah.
Sebenarnya, jika analisis dilakukan
secara obyektif, makna secara terminologis di atas kurang tepat, sebab jauh
meleset dari makna etimologisnya. Pemaknaan dalam arti khusus, dapat saja
digunakan jika kata ulama tersebut terangkai dengan kata lain, seperti ulama
nahwu, ulama fikih, ulama tafsir, ulama hadis, dan sebagainya. Akan tetapi,
jika kata ulama tersebut berdiri sendiri, maka maknanya harus dikembalikan
kepada arti etimologisnya, yakni orang-orang yang berilmu pengetahuan.[4]
Namun, dalam kajian makalah ini, ulama yang dimaksudkan
adalah dalam pengertiannya secara terminologis, yaitu orang-orang yang memiliki
keahlian di bidang ilmu agama Islam.
B. Ulama Sebagai
Ahli Waris Nabi
Dalam salah satu ungkapan yang
sering disebut-sebut sebagai hadis Nabi Muhammad saw., dapat ditemukan ungkapan
populer yang berbunyi: العلماء ورثة الأنبياء (para ulama itu adalah ahli waris
nabi-nabi). Jika ungkapan ini dilacak
sumbernya, ternyata tak satu pun kitab hadis standar (al-kutub al-tis’ah) yang
memuatnya. Ungkapan ini hanya ditemukan pada buku-buku atau kitab-kitab yang
bukan kitab hadis standar. Karenanya, autentisitas ungkapan ini sebagai hadis
Nabi, memungkinkan untuk dikritisi.[5]
Kritik terhadap autentisitas
ungkapan ini sebagai hadis Nabi semakin kuat, jika pandangan diarahkan pada mukharrij-nya,
yaituرواه ابن النجار (HR Ibn al-Najjr). Dalam kajian ‘ulm al-Yadd, otoritas
Ibn al-Najjr tidak mendapat pengakuan sebagai mukharrij hadis. Terlepas
dari (lemah) atau maw’ (tertolak)-nya ungkapan tersebut sebagai hadis
Nabi, ternyata ungkapan tersebut sudah menjadi masyhr dan mendapat
tempat di hati masyarakat Islam. Karenanya, tidaklah salah jika ungkapan
tersebut perlu dikomentari lebih lanjut.
Sebagaimana halnya nabi-nabi lain,
Nabi Muhammad ketika wafat, tidaklah meninggalkan kerajaan atau harta benda
yang akan diwariskan kepada umatnya. Yang beliau tinggalkan hanyalah agama
Allah yang harus dipelihara, ditegakkan, dan dibela kepentingannya.
Dengan demikian, ulama sebagai orang
yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama Islam, ia perlu mewarisi ilmu dan
meneruskan langkah perjuangan Nabi Muhammad. Segala tingkah laku dan perbuatan
ulama tersebut tidak boleh keluar dari ketentuan yang terdapat dalam Alquran
dan Hadis Nabi. Konsekuensi dari kedudukannya sebagai ahli waris Nabi Muhammad,
maka fungsi dan tanggung jawab ulama sangat berat.[6]
C. Fungsi dan Tanggung Jawab Ulama
di Tengah Masyarakat
Dalam hubungannya sebagai ahli waris para nabi, ulama
mempunyai fungsi dan tanggung jawab sebagai berikut:
1. Sebagai penyiar agama Islam. Dengan fungsi ini, ulama
berkewajiban menyampaikan amar ma’ruf dan nahy munkar kepada
segenap umat manusia. Ilmu agama yang dimilikinya, wajib diajarkan kepada isteri,
anak, dan seluruh masyarakat Islam.
2. Sebagai pemimpin rohani. Dengan fungsi ini, ulama
wajib memimpin dan membimbing umat Islam dalam bidang rohani, misalnya dalam
bidang akidah, syariah, dan akhlak.
3. Sebagai pengemban amanat Tuhan. Dengan fungsi ini,
ulama wajib memelihara amanat Tuhan. Dalam arti bahwa ulama bertanggung jawab
memelihara agama dari kerusakannya, menjaga agama agar tidak dikotori oleh
manusia, serta menunaikan segala perintah Tuhan.
4. Sebagai penegak kebenaran. Dengan fungsi ini, ulama
yang lebih mengetahui ajaran Islam, seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan
kebenaran. Jika ada ulama yang menegakkan fungsinya ini, maka dia sendiri yang
terlebih dahulu hancur, baru kemudian menyusul kehancuran dan kebinasaan umat
Islam.[7]
BAB III
INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Institusi Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, institusi
mempunyai beberapa arti, yaitu: (1) pelembagaan atau pranata; (2) sesuatu
yang dilembagakan oleh undang-undang, adat, atau kebiasaan; (3) gedung atau
tempat diselenggarakannya kegiatan perkumpulan dan organisasi. Namun, yang
dimaksudkan dalam kajian makalah ini adalah institusi dalam
pengertiannya sebagai lembaga yang didirikan oleh pemerintah atau yayasan
tertentu.
Para ahli berbeda dalam memberikan
definisi tentang pendidikan Islam. M. Arifin misalnya, mengatakan bahwa
pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena
nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. [8]
Hasan Langgulung, sebagaimana
dikutip oleh Azyumadi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu
proses penyiapan generasi muda untuk mengisi perasaan, memindahkan pengetahuan
dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di
dunia dan memetik hasilnya di akhirat. [9]
Jika diperhatikan kedua definisi di
atas, dapat tersimpul pada definisi yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat yang
mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim.
Berdasar pada pengertian institusi
dan beberapa definisi pendidikan Islam di atas, maka yang dimaksud
dengan institusi pendidikan Islam dalam kajian makalah ini adalah sebuah
lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau pihak swasta, yang
bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang berkepribadian
muslim.[10]
B. Lembaga - Lembaga Kependidikan Islam
Pendidikan
Islam, secara kelembagaan, tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di
samping lembaga yang bersifat umum, terdapat lembaga-lembaga lain yang
mencerminkan kekhasan orientasinya.
Dalam
sejarah Islam ditemukan bahwa sekitar abad IV H, terdapat beberapa corak
pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang bercorak teologi, tasawuf, filsafat,
dan fikih. Institusi yang dipakai oleh masing-masing corak pendidikan tersebut,
dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Yang bercorak filsafat menggunakan lembaga pendidikan
yang diberi nama Darul al-Hikmah, al-Muntadiyah.
2. Yang bercorak tasawuf menggunakan lembaga pendidikan
yang bernama al-Zany, al-Ribat, al-Masjid, dan Khalaqat.
3.
Yang bercorak teologi menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Masjid,
al-Maktabat, al-Warr, dan al-Muntadiyah.
4.
Yang bercorak fikih menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Ka’bah,
al-Madris, dan al-Masjid. [11]
Masing-masing
corak pendidikan di atas memiliki institusi yang khusus, meski pada umumnya
memanfaatkan mesjid. Kondisi ini berlangsung sampai pada tahun 495 H, khususnya
setelah al-Mulk mendirikan madrasah. Dengan demikian, madrasah merupakan
institusi pendidikan yang dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam.
Dalam
perspektif ke-Indonesiaan, institusi pendidikan Islam telah berkembang dengan
pesat, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Institusi ini meliputi
semua jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai ke Perguruan
Tinggi (Universitas).[12]
Untuk
tingkat TK dikenal dua istilah, yaitu Raudhatul Athfal dan Bustan
al-Atfal. Untuk tingkat selanjutnya dikenal dengan madrasah yang terdiri
atas tiga jenjang, yaitu Madrasah Ibtidaiyah yang setingkat dengan SD, Madrasah
Tsanawiyah yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang
setingkat dengan SMU. Di samping madrasah, dikenal juga lembaga pendidikan Pondok
Pesantren. Khusus pada jenjang pendidikan tinggi, dikenal dengan istilah al-Jami’ah.[13]
BAB IV
POSISI ULAMA DI TENGAH MODERNISASI
PESANTREN
A.
Pengertian
Pondok Pesantren
Kata pondok
berasal dari bahasa Arab فندوق yang berarti hotel, asrama, rumah,
dan tempat tinggal sederhana. Istilah ini telah dikenal di Jawa dan Madura
sebelum tahun 60-an, yaitu tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Dengan
demikian, pondok yang dimaksudkan di sini adalah asrama tempat tinggal santri,
yang pada umumnya terbuat dari bambu.
Adapun
kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awal pe dan
akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Tempat tinggal di
sini bukan hanya dalam arti tempat tinggal menginap, tetapi sekaligus tempat
menimba ilmu oleh para santri dari gurunya.
Dari
pengertian pondok pesantren di atas, mengindikasikan bahwa Pondok Pesantren lahir
dari budaya Indonesia. Karenanya, secara historis pesantren tidak hanya
mengandung makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.[14]
B.
Posisi
Ulama di Pondok Pesantren
Pada pesantren terdiri atas lima
pokok elemen, yaitu ulama, santri, mesjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab
klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki oleh
pesantren, sekaligus membedakannya dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain.
Meski kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, namun
ulama memainkan peran yang begitu sentral di dalamnya.
Keberadaan seorang ulama dalam
lingkungan sebuah pesantren, laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas
ulama memperlihatkan peran yang otoriter, disebabkan karena ulamalah sebagai
perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan sebagai pemilik
tunggal. Karenanya, dengan alasan ketokohan ulama tersebut, ada sebagian
pesantren yang bubar lantaran ditinggal wafat ulamanya. [15]
Sebagai salah satu unsur yang
dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, ulama mengatur irama perkembangan dan
kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,
kharismatik, dan keterampilannya. Karenanya, tidak jarang ditemukan sebuah
pesantren yang tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala
sesuatunya terletak pada kebijaksanaan dan keputusan ulama.
Kewibawaan dan kedalaman ilmu sang
ulama, merupakan modal utama bagi berlangsungnya semua wewenang yang
dijalankan. Semua santri dan orang-orang yang ada di lingkungan pondok, harus
taat kepada ulama. Ia dikenal sebagai tokoh kunci, kata-kata dan keputusannya
harus dipegang oleh mereka, terutama oleh para santri. Dalam hal ini, ulama
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendidik para santrinya daripada
aktivitas lainnya.
C.
Modernisasi
Manajemen Pondok Pesantren
Dewasa ini, terdapat kecenderungan
kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya
pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan
pesantren dipegang oleh satu atau dua orang ulama, yang biasanya merupakan
pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren,
terutama karena terjadinya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya,
yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal ulama
tidak memadai lagi. Banyak pesantren sekarang yang mengembangkan kelembagaan
yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.[16]
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid menawarkan empat
hal mengenai kepemimpinan pesantren, yaitu:
1.
Pola kepemimpinan kharismatik sudah
menunjukkan segi tidak demokratisnya kepemimpinan pesantren. Apalagi jika
disertai dengan tindakan yang bertujuan untuk menjaga jarak dan rasa ketinggian
dari para santri. Pola kepemimpinan seperti ini akan kehilangan kualitas
demokratisnya.
2.
Karena kepemimpinan ulama adalah
kharismatik, maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal.
Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang ulama tidak mungkin digantikan
oleh orang lain dan sulit ditundukkan oleh administrasi dan manajemen modern.
3.
Seorang ulama, selain menjadi
pemimpin agama, sekaligus merupakan traditional mobility dalam
masyarakat feodal. Feodalisme yang berbungkus keagamaan ini bila
disalahgunakan, jauh lebih berbahaya dari feodalisme biasa.
4.
Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren
adalah seperti yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan
teknis menjadi tidak penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab
tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.
[17]Apa yang dikemukakan Nurcholish
Madjid di atas merupakan cambuk bagi pesantren untuk menata organisasi dan
manajemennya, agar mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain di era modern
ini
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Mengacu pada uraian-uraian yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka berikut ini dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Ulama sebagai penerus perjuangan
para nabi, memiliki fungsi dan tanggung jawab yang cukup berat. Fungsi dan
tanggung jawab yang dimaksud, antara lain sebagai: (a) penyiar agama Islam, (b)
pemimpin rohani umat Islam, (c) pengemban amanat Tuhan, dan (d) penegak
kebenaran.
2.
Untuk melaksanakan fungsinya
tersebut, sebagian ulama ada yang mendirikan pesantren untuk mengajarkan ilmu
yang dimilikinya secara formal. Dengan kedudukannya sebagai pendiri sekaligus
sebagai pemilik pesantren, maka posisi ulama pada pesantren tersebut sangat
urgen, sehingga semua kebijakan dan aturan yang berlaku berada di tangan ulama.
3.
Untuk meningkatkan daya saing dan
mengejar ketertinggalan pola pendidikan di pesantren, agaknya pola kepemimpinan
kharismatik oleh seorang ulama perlu direvisi. Untuk menjadikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkualitas, di dalamnya perlu diterapkan
pola kepemimpinan dan manajemen modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Azra,
Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Cet.
II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Bawani,
Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Cet. I; Surabaya:
al-Ikhlas, 1993.
Daradjat,
Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Dhofier,
Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet.
VI; Jakarta: LP3S, 1994.
Hasyim,
Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Cet. II; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
Madjid,
Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1992.
[1]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 67
[2]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 68
[3]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 93
[4]
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Hal. 134
[5]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 103
[6]
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Hal. 46
[7]
Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Hal. 23
[8]
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Hal. 152
[9]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 104
[10]
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Hal. 189
[11]
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Hal. 117
[12]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 129
[13]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 132
[14]
Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Hal. 84
[15]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 57
[16]
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Hal.
63
[17]
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Hal.
66
[1]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 67
[2]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 68
[3]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 93
[4]
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Hal. 134
[5]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 103
[6]
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Hal. 46
[7]
Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Hal. 23
[8]
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Hal. 152
[9]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 104
[10]
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Hal. 189
[11]
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Hal. 117
[12]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 129
[13]
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Hal. 132
[14]
Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Hal. 84
[15]
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Hal. 57
[16]
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Hal.
63
[17]
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Hal.
66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar