MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISAM
Sejarah dan Perkembangan Madrasah Nizamiyah
Dosen
Pengampu : Arif Sukino, M. Ag
Di Susun :
O
L
E
H
Nama
: Muhammad Taufiq
Kelas
: III “ D “
TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
KOTA PONTIANAK
TAHUN PELAJARAN 2012
Kata pengantar
Makalah ini di susun bartujuan untuk memenuhi kebutuhan literature mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Karna mata kuliah ini merupakan sebuah Sejarah Pendidikan, maka uraian
materinya mencakup tentang Sejarah Perkembangan Madrasah Nizamiyah, namun di
sajikan dengan sederhana dan ringkas. Dengan kata lain, mata kuliah ini sekedar
memberikan ilmu tentang Sejarah Peradaban Islam.
Karya ini merupakan pengembangan suatu Sejarah Peradaban Islam yang
disusun secara ringkas dalam pengampu mata kuliah tahun 2012. Kendati telah di
susun dengan seksama, dengan memperhatikan kepentingan bersama pada strata
satu, buku ini pastinya tidak luput dari
kelemahan dan kekurangan. Karena itu saran dan kritik anda kami harapkan.
Akhirnya, semoga penyajian makalah ini dapat membantu kita semua dalam
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam atau pihak yang ingin mengenal Suatu Madrasah
Nizamiyah secara umum. Kepada pihak yang sudah membantu hingga makalah ini
selesai, saya ucapakan terima kasih, semoga Allah membalas dan menilainya
sebagai amal shaleh.
Pontianak,
01 November 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Madrasah merupakan ciri khas dalam
pendidikan dunia Islam. Banyak orang yang memandang sebelah mata apabila
dikenalkan nama pendidikan Islam. Menurut sebagian orang, pendidikan Islam
kalah kualitas dibandingkan pendidikan umum. Benarkah ?
Tentunya, mereka yang berpandangan
demikian karena belum pernah membaca sejarah Islam secara utuh. Pada
pertengahan abad kedelapan Masehi atau abad kedua Hijriyah, merupakan masa-masa
keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Kondisi ini berlangsung pada
masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah (133-656
H/750-1258 M). Saat itu, 2/3 bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam.
Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat. Berbagai sumber menyebutkan,
masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia adalah khalifah Dinasti
Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.
Salah satu puncak pencapaian yang
membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid melegenda adalah perhatiannya terhadap
ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan
sejumlah karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi titik awal kemajuan
yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada era itu pula, beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban mulai
berkembang. Perkembangan tersebut berkat dorongan pemerintah saat itu yang
menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan kebebasan intelektual para
siswanya.[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaiamana
Sejarah Madrasah Nizamiyah ?
2. Seperti
apa Perkembangan dan Strategi Madrasah Nizamiyah ?
3. Apa
Tujuan Madrasah Nizamiyah ?
4. Seperti
apa Kurikulum Madrasah Nizamiyah ?
5. Apa
penyebab runtuhnya Madrasah Nizamiyah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Madrasah Nizamiyah
Sebelum berdirinya Madrasah
Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu
Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin
Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk
Abu Ishaq al-Isfarayini.
Madrasah Nizamiyah adalah sebuah
lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk.
Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya ada di kota Baghdad, ibu kota dan
pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah Nizamiyah ini didirikan dekat
pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di Baghdad. Mulai
dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H (dua
tahun lamanya baru selesai). Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai
tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan
madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai
kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam.
Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan
Tibristan. Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat
studi keilmuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar
berdatangan dari berbagai daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah
Nizamiyah tersebut.[2]
Kesungguhan Nizam al-Mulk dalam
membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin pada kesediaannya
menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah Nizamiyah
di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya
tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan
kuliah-kuliah yang diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan
pikiran-pikirannya di depan para pelajar di madrasah itu.
Lembaga pendidikan Islam yang
pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal
sekarang adalah madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut. Kurikulumnya berpusat
pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW
dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab Syafi’i dan sistem teologi
Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nizamiyah selalu dibantu oleh dua orang
pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang
telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi). Sistem belajar
di Madrasah Nizamiyah adalah : tenaga pengajar berdiri di depan ruang kelas
menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan
di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan
dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang
disajikan dalam suasana semangat keilmuan tinggi.
Status dosen di madrasah tersebut
ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa
tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri
menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah Nizamiyah di banyak kota, ia
menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di
madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam al-Mulk tentang gaji
tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyah.
Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi
para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu
gagasan yang terlalu maju.[3]
Diantara kekuatan Madrasah Nizamiyah
adalah bahwa madrasah tersebut mendapat pengakuan negara. Madrasah Nizamiyah
telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai
tenaga pengajar. Di antara mereka adalah :
1. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang
faqih Baghdad
2. Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3. Abu Abdullah at-Tabari
4. Abu Muhammad asy-Syirazi
5. Abu Qasim al-Alawi
6. at-Tibrizi
7. al-Qazwini
8. al-Fairuzabadi
9. Imam al-Haramain Abdul Ma’ali
al-Juwaini
B.
Perkembangan dan Strategi Madrasah
Nizamiyah
Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan
Madrasah Nizamiyah signifikan dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua
penganut mazhab Syafi’iyyah dan berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk
memahami kerangka politik, khususnya yang berhubungan dengan konflik internal
Sunni antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan
gerakan keagamaan yang paling berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad
ke-11. sejarawan ahli masa klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet,
menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad.
Ini tidak berarti bahwa kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah
dan Hanbaliyyah tidak mempunyai peran.[5]
Pemberian perhatian khusus kepada
dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah memainkan peran penting
dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad. Bajkan, al-Kunduri, salah
seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal sebagai penganut Hanafiyyah
yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk yang terbesar dan termasyhur
terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen.
Ada beberapa petunjuk yang
memperlihatkan konflik mereka. ‘Asabiyyah atau ta’assub yang
berarti fanatisme pada ajaran khusus keagamaan mereka bukanlah hal yang baru di
dunia Islam, baik pada abad ke-10 maupun pada abad ke-11. ‘Abd ar-Rahman
as-Sabuni dihukum mati tahun 900 H atas dasar fanatisme mazhab. Kecenderungan
semacam ini juga bisa ditemukan dalam kelompok Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.
Mereka berkompetisi dalam memperoleh posisi keagamaan di pemerintahan, yakni
sebagai qadli, shaikh al-Islam, juga dalam mendirikan madrasah-madrasah
untuk mempersiapkan ulama-ulama masa depannya.
Jarangnya terjadi pernikahan
antarmereka juga merupakan point penting yang mempertajam ketegangan. Bisa
dipahami bahwa perkawinan antarkelompok pada dasarnya berpotensi meredam
konflik, menyebabkan transfer kekayaan, kekuatan dan nilai-nilai sosial
keagamaan yang paling asasi. Tatkala perkawinan antarkelompok ini hilang dari
sebuah komunitas yang heterogen seperti yang terjadi dalam panggung sejarah ini,
mudah diterka bahwa kohesi sosial dalam keragaman mazhab menjadi kurang solid.
Konflik ini lebih jelas bila
disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran
teologi terpenting di hari kemudian. Kelompok yang terakhir ini tidak hanya
berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada
abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah agaknya berhasil mengakhiri pengaruh
Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika pengaruh Mu’tazilah demikian besar,
al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum
mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan al-Ghazali (meninggal 1111 M).[6]
Ada dua contoh utama pendukung
Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.Kembali
ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah manajemen
pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas ini
memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah subur,
berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah pusat di
Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur
dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun
1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah
dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan
Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing
dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap
Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai
meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena
kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi
oleh Hanafiyyah dengan intens.
Dari segi kemampuan politik
strategis, al-Kunduri terlalu lemah jika dibandingkan dengan Nizam al-Mulk.
Al-Kunduri tidak pernah berestimasi bahwa persekusinya terhadap Syafi’iyyah
akan menghasilkan “musuh-musuh besar” di kemudian hari, seperti Imam
al-Haramayn dan Abu Sahl Muhammad bin Imam al-Muwaffaq.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk
juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara faksi-faksi. Perbedaannya adalah
kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan estimasinya yang brilian. Tidak
diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan bijak dalam menyelesaikan setiap
persoalan. Karyanya mengenai persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit
abaca sampai sekarang merupakan salah satu buktinya. Selama 20 tahun
pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam benar-benar mutlak. Dialah penguasa
riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri
tetapi ia gagal meraihnya.[7]
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk,
keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan
ulung, dia memilih cara memeperoleh simpati masyarakat dengan cara memperbanyak
Madrasah Nizamiyah, memanfaatkan ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat
institusi-institusi Syafi’iyyah secara umum. Apa yang ia lakukan ternyata
berbuah besar. Beberapa ulama Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam
Haramayn dan Imam al-Ghazali memberikan sumbangan besar terhadap
lembaga-lembaga pendidikannya. Dia mendirikan begitu banyak madrasah dari
Khurasan di timur hingga Syria dan Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan
hanya memiliki otoritas besar di Madrasah Nizamiyah Khurasan, yakni madrasah
yang dipercayakan sepenuhnya oleh Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga
menjadi khatib yang disegani di Nishapur. Sebagian besar posisi penting
keagamaan di pemerintahan dipegang para ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah,
sedangkan posisi yang kurang penting dipegang oleh Hanafiyyah. Disebabkan
madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak rakyat, aghniya’
(jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek madrasah dengan sumbangan
mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti bahwa madrasah-madrasah yang
didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh penguasa dan rakyat.
Dengan demikian, gerakan-gerakan
madrasah ini bias dipandang sebagai upaya reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang
sebagian besar di barat, terutama di Mesir (Universitas Al-Azhar), atau dilihat
sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan yang dilancarkan sebelumnya
oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas rekayasa pendirian
madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan symbol kemenangan
Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar Nizam al-Mulk atas
keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen dalam masyarakat.[8]
C.
Tujuan Madrasah Nizamiyah
Madrasah ini boleh dilihat sebagai
suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di Arab belahan barat atau juga terhadap
rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur.
Betapa pun, berdirinya Madrasah Nizamiyah merupakan satu symbol kemenangan
Sunni dan juga merupakan salah satu cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani
konflik-konflik intrernal masyarakat yang ada.
Berdasarkan asumsi ini, tidaklah
berlebihan jika disimpulkan lebih jauh bahwa tujuan madrasah ini paling tidak
mempunyai dua point, yakni untuk memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu
sisi dan membendung serangan dari pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah,
Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi lain. Untuk mendukung roda
pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi hal itu tampaknya lebih
merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan madrasah sebagai sebuah
lembaga.
Bagaimana lembaga pendidikan ini
mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh
kenamaannya, seperti Abu Ishaq al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh
lainnya. Di samping satu pusat Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak
masih ada 9 Madrasah Nizamiyah lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar
sampai ke Nishapur.[9]
Madrasah Nizamiyah di Nishapur
dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari
ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni,
tokoh sentral MAdrasah Nizamiyah Nishapur, adalah contoh menarik untuk memahami
bagaimana madrasah ini bertujuan mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah.
Kritiknya yang tajam terhadap etika Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad
ila Qawati’ al-Adilla fi Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah
Madrasah Nizamiyah Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut
merupakan representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya.
Al-Ghazali adalah contoh lain yang
menraik untuk memahami bagaimana madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah,
tetapi juga filsuf. Kehadirannya di Madrasah Nizamiyah Baghad begitu lama
(sekitar 25 tahun) sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia memberi corak
tersendiri terhadap lembaga ini. Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini,
yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan
oleh sosok al-Ghazali karena ia datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap
ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal bagi madrasah ini, persis dengan apa yang
dilakukan al-Ghazali di akhir hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah
personifikasi dari sebuah lembaga dalam masyarakat tradisional. Dengan
demikian, sulitlah membedakan antara guru yang benar-benar fungsional dengan
madrasah itu sendiri.
Madrasah ini secara otomatis juga
melindungi idiologinya dari pengaruh Syiah. Hal ini ma’qul karena pada
masa yang sama Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant
dari Isma’iliyyah ada di mana-mana, salah satu dakwahnya menggunakan media
pendidikan dengan mendirikan universitas Al-Azhar.[10]
D.
Kurikulum Madrasah Nizamiyah
Telah disebutkan bahwa apa
yang diajarkan di Madrasah Nizamiyah masih terbuka untuk didiskusikan.
Ciri-cirinya yang telah diulas singkat itu akan menentukan kurikulumnya.
Keterlibatan Imam Haramayn di Madrasah Nizamiyah Nishapur merupakan bukti kuat
bahwa ajaran-ajaran Ash’ariyyah diajarkan di situ. Bahkan, nama Abu al-Hasan
Ash’ari terpampang di pintu lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Nizam.[11]
Disamping fiqih dan tauhid,
cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu
Al-Qur’an, hadits Nabi, akhlaq, sangat mungkin sekali diajarkan di situ.
Alasannya adalah bahwa setiap muslim wajib, fard al-’ain, mempelajari
ilmu-ilmu tersebut. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kewajiban ini dalam
karyanya Ihya al-’Ulum al-Din. Masuk akal bahwa al-Ghazali mengalamatkan
kewajiban belajar kepada siswa-siswanya di Baghdad karena dia menulis beberapa
bukunya sambil mengajar di madrasah itu. Masuk akal juga bahwa cabang-cabang
ilmu agama yang lain, seperti nahwu, sharaf, adab (literature) juga
disajikan di situ meskipun ilmu-ilmu itu hanya sebagai pelengkap.
Agaknya Madrasah Nizamiyah mempunyai
kurikulum yang menekankan supremasi fiqih. Semua cabang ilmu agama yang lain
diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas dan penjabaran hokum Islam.
Pendidikan serba fiqih adalah cirri yang menonjol dalam pendidikan Sunni muslim
abad ke-11. sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, pola pendidikan semacam
ini terus berlanjut dari abad ke abad. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa Madrasah Nizamiyah benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada
masa klasik dan pertengahan Islam.[12]
E.
Keruntuhan Madrasah Nizamiyah
Madrasah Nizamiyah sedikit demi
sedikit mengalami kemunduran setelah wafatnya Nizam al-Mulk. Madrasah yang
sistem pendidikan dan organisasinya ditiru di Eropa ini sempat berjaya sampai
akhir abad ke-14, ketika Timur Lenk menghancurkan Baghdad.Timur lenk dengan
bala tentaranya menyerbu kota Baghdad dan menghancurkan segala peradaban serta
membantai ribuan orang di wilayah yang ditaklukkannya. Baghdad hancur lebur
sekitar tahun 1393 M.[13]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nizhamiyah adalah sebuah lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah yang
dikelola oleh pemerintah pada masa Bani Saljuk. Madrasah ini mempunyai corak
yang berbeda dari lembaga pendidikan sebelumnya. Madrasah ini didirikan dikota
Baghdad dan sekitarnya (ditemui hamper disetiap daerah), Didirikan oleh seorang
seorang perdana menteri yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu
pengetahuan dan pendidikan disamping factor politik dan keagamaan. Perdana
menteri itu bernama Nizham al-Mulk dengan memakai system modern.
Madrasah Nizhamiyah mempunyai
manajemen yang bagus, dikelola dengan baik seperti dapat dilihat dari segi
pendanaan, gedung- gedung yang bagus dalam jumlah yang banyak. Guru- guru
digaji selama masa jabatannya, perpustakaan yang lengkap, asrama dan makan
untuk mahasiswanya, biaya siswa gratis, dan kurikulum ditetapkan oleh
pemerintah Baghdad.
Materi yang diberikan di Madrasah
Nizhamiyah adalah diarahkan untuk mengembangkan mazhab sunni dan melemahkan
mazhab syi’ah serta mu’tazilah. Oleh karena itu materinya lebih berorientasi
pada ilmu keagamaan melalui empat mazhab, tetapi yang menonjol adalah mazhab
syafi’i. Para lulusnnya dipersiapkan untuk duduk di pemerintahan saljuk yang
bermazhab sunni.
Madrasah Nizamiyah adalah madrasah
yang didirikan oleh Nizam al-Mulk untuk mendidik penduduknya serta dan untuk
menyebarkan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah serta memperkuat posisi politiknya
sebagai wazir. Madrasah ini didukung oleh para ulama terkenal dan termasyhur
pada zamannya, bahkan sampai sekarang. Madrasah ini juga menjadi inspirasi
madrasah-madrasah Islam zaman sekarang serta merupakan fakultas-fakultas yang
sekarang banyak ditiru di lembaga pendidikan zaman sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, 2002, Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media.
Al-Subki, 1964, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra,
vol III, Kairo.
Badri Yatim, Dr, M.A, 2000, Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002, Ensiklopedi
Islam jilid 4, cetakan ke-10, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
M. Faruqi, The Development of the Institutions of
Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur
1987.
[1]. Ensiklopedi Islam jilid 4, (Jakarta
: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[2]. Abdurrahman
Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 101
[3]Ensiklopedi Islam jilid 4, (Jakarta
: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[4]. Ensiklopedi Islam jilid 4, (Jakarta
: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[5]. Abdurrahman
Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 101
[7]Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 106
[8]. Abdurrahman
Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 106
[9]. M. Faruqi, The
Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad,
Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
[13]. Badri Yatim,
Dr, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2000) hlm. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar