M A K A L A H F I Q I
H I I
M A W A R I S
Dosen
Pengampu : Ridwan,
M. S. I
Di Susun :
O L E H :
1.
Muhammad Sidik : 1111111272
2.
Muhammad Taufiq : 1111111171
3.
Maryati : 1111111193
“ Kelas D “
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
KOTA PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK 2013
KATA PENGANTAR
Segala
puja dan puji hanya bagi Allah semata, sang pencipta alam semesta, yang selalu
melimpahkan karunianya, sehingga kami dapat merangkumkan makalah ini. sholawat
serta salam senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW. Beserta keluarganya dan para sahabatnya.
Makalah ini
di susun bertujuan untuk mengetahui pengertian mawaris,tujuan mempelajari,
hokum mempelajarinya, rukun dan syarat mawaris, serta hal-hal menyebabkan
mendapat dan gugurnya warisan. Makalah ini kami buat dengan mengambil bahan dari
internet dan buku-buku yang membahas tentang
Fiqh Mawaris.
Kami harap
setelah kami membuat makalah ini, semoga penyajian makalah ini dapat membantu kita
semua dalam mata kuliah Fiqh II.
Pontianak, 11 Maret 2013
A. Pengertian
Istilah Fiqh
Mawaris (فقه المواريث)
memiliki
pengertian yang sama dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yakni hukum
yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Proses
peralihan harta warisa orang yang telah meninggal dunia pada ahli waris yang
masih hidup. Masalah ini diatur dalam hukum kewarisan Islam/faraidh,
atau yang disebut fiqh mawaris. Fiqh mawaris adalah berasal
dari bahasa Arab yakni fiqh dan mawaris.
Menurut
Hazairin fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan suatu
ketetapan hukum yang berdasarkan al-Qurán dan as-Sunnah. Namun karena fiqh
merupakan hasil pemikiran manusia, tentu mengenal batasan-batasan tertentu
sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran itu
ada dalam batasan disiplinnya, yaitu metode dan sumbernya, maka tidak
setiap hasil pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh.
Dari pengertian
diatas dapat diambil pengertian bahwa fiqh merupakan ilmu untuk memahami
hukum syara’ yang diperoleh dengan jalan ijtihad yang digali dengan menggunakan
dalil-dalil terperinci.[1]
Kata mawaris
merupakan jama’ dari lafal miiarats
sedangkan lafal miiraats itu sendiri merupakan masdar dari lafal warasa.
Secara bahasa kata miiraats memiliki beberapa arti, diantaranya : at-tirkah
(harta peninggalan orang yang meninggal dunia).[2]
Jadi fiqh
mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan,
tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta
peninggalan itu dan bagian setiap masing-masing ahli waris.[3]
Fiqh
mawaris biasa disebut juga dengan
istilah Al-Faraidh yang mana lafal faraidh ini merupakan bentuk jamak dari
lafal fardh yang berarti kewajiban atau bagian tertentu. Jika dihubungkan
dengan ilmu, maka menjadi ilmu faraidh, dimana maksudnya ialah :
“ Ilmu untuk
mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia
kepada kepada yang berhak menerimanya”.
Sebagian Para
ulama ada yang mengartikan faraidh sebagai jamak dari lafal fariidhah
yang diambil dari kata fardhu, oleh para ulama’ faradhiyuun
diartikan semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah ditentukan
atau bagian pasti.
Hal ini
sesuaikan dengan Firman Allah SWT Sebagai telah disebutkan dalam surah An-Nisa’
pada ayat ke 7.
للّرجال نصيب ممّا ترك الولدان
والاقربون وللنّساء نصيب ممّا ترك الولدان والاقربون ممّا قلّ منه اوكثر نصيبا
مفروضا.
Artinya : “ Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) ibu, bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan“.
Para ahli faraidh
banyak yang memberikan definisi tentang faraidh atau mawaris.
Meskipun definisi tersebut berbeda-beda. akan tetapi definisi-definisi tersebut
memiliki pengertian yang sama.[4]
Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid medifinisikan ilmu faraidh sebagai berikut :
“ Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian)dari
harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.
Hasbi
ash-Shiddieqy mendifinisikan sebagai berikut :
“ Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang
mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima
oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya “.
Dari
definisi-definisi diatas, dapat dipahami bahwa ilmu faraidh atau fiqh
mawaris merupakan ilmu yang menjelaskan tentang pembagian atau pemindahan
harta dari seorang yang meninggal dunia
pada yang masih hidup, baik mengenai harta peninggalannya, orang yang berhak
mendapatkannya, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara menyelesaikan
pembagian harta warisan itu.[5]
B. Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan
Mempelajari
hukum mawaris sangatlah dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’ie, Rasulullah
SAW bersabda :
“ Belajarlah Alquran dan ajarkanlah dia kepada
manusia dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah dia, karena sesungguhnya aku
seorang yang akan mati, sedangkan ilmu itu akan diangkat dan ilmu akan
terangkat, dan bisa jadi akan ada dua
orang berselisih , tetapi mereka tidak akan bertemu dengan seorang yang sanggup
memfatwakannya (mengabarkan) kepada mereka (hukumnya)”.
Rasulullah SAW,
juga bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Daruquthni bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda:
“ Belajarlah faraidh dan ajarkanlah dia kepada
manusia, karena ia itu adalah separuh ilmu, dan ia akan dilupakan, dan ia
adalah ilmu yang pertama akan tercabut dari ummatku “.
Para ulama’
sepakat bahwa mempelajari ilmu faraidh itu fardhu kifayah,
artinya jika dalam suatu kampong atau pemukiman tidak ada yang mempelajari ilmu
faraidh maka berdosalah orang-orang dikampung itu. Akan tetapi, jika ada
yang mempelajari meskipun Cuma satu atau dua orang saja maka terlepaslah
semuanya dari dosa.
Adapun tujuan
mempelajari ilmu faraidh atau hokum warisan ialah supaya kita dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan
sampai ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain.
Disamping itu,
jika kita mempelajari ilmu faraidh atau mawaris dengan benar maka akan
bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, yang jelas ilmu itu akan bermanfaat
dalam menyelesaikan kasus pembagian harta waris dilingkungan keluarga, lebih
lanjut dapat dapat membantu menyelesaikan kasus pembagian warisan dalam
masyarakat.[6]
C. Hukum
mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh
Ilmu faraidh
memiliki kedudukan yang besar bagi ummat Islam sehingga sebagian ulama’
mengatakan bahwa ilmu faraidh merupakan sebagian separoh ilmu. Hal ini
disandarkan kepada hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkanoleh Ahmad, Nasí, dan
Daru Quthni :
“ Pelajarilah Alqurán dan ajarkanlah pada
orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu pada orang-orang,
karena aku adalah manusia yang akan direnggut(wafat). Sesungguhnya ilmu ini
akan dicabutdan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan
mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara
mereka “.
Hadits di atas menunjukkan, bahwa
Rasulullah SAW, memerintahkan kepada
ummat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh supaya tidak terjadi
peselisihan dalam pembagian harta warisan. karena tidak ada yang memutuskan
perkara pembagiannya. Perintah tersewbut merupakan perintah wajib. Kewajiban itu dapat gugur jika ada
sebagian orang yang melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka
seluruh ummat islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Hukum
mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh bagi seluruh ummat Islam adalah fardhu
kifayah, sedangkan bagi para hakim (qadhi) dan pemberi fatwa (mufti)
adalah fardhu áin. Karena diantara sebab-sebab pewarisan, pengetahuan
tentang pewarisan merupakan syarat khusus yang harus mereka kuasai.
Dari uraian diatas, dapat dipahami
bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Namun
ada sebagian ahli faraidh yang menyatakan bahwa hukumnya fardhu áin bagi
seorang hakim dan pemberi fatwa.[7]
D. Rukun Mewarisi
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang
menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak akan sempurna jika salah satu rukun
tidak ada misalnya wali dalam salah satu perkawinan. Jika tidak ada wali maka
perkawinan tidak akan sempurna atau tidak syah menurut Imam Malik dan Imam
Syafií.
Sehubungan dengan pembahasan hokum waris, yang
menjadi rukun waris mewaris ada 3 yaitu :
Sehubungan
dengan pembahasan hokum waris, yang menjadi rukun waris mewaris ada 3 yaitu :
1. Harta
peninggalan
Harta
peninggalan ialah harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia,
untuk dibagikan kepada ahli waris, setelah dipotong biyaya perawatan, melunasi
hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan didalam ilmu fiqh juga biasa
disebut dengan tirkah, yaitu semua yang menjadi milik seseorang, baik berupa
harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah
ia meninggal dunia. Jadi, hak-hak kewarisan bukan hanya berupa harta benda akan
tetapi juga menyangkut harta yang tidak berupa harta benda yang dapat berpindah
kepadam ahli warisnya. Seperti hak-hak menarik hasil dari sumber air,
benda-benda yang digadaikan oleh pewaris (orang yang meninggal dunia), termasuk
benda-benda yang sudah dibeli oleh pewaris yang bendanya belum diterima.[8]
2. Pewaris atau
orang yang meninggal dunia (mawaris)
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan. Bagi seorang pewaris terdapat ketentuan bahwa harta
yang yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, baik menurut kenyataan maupun
menurut hukum. Kematian pewaris menurut para ulama’ fiqh dibedakan
menjadi 3 macam, yakni :
1.
Mati haqiqy (sejati), ialah matinya dapat
dilihat dengan pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
2.
Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim) ialah
kematian yang disebabkan adanya ponisan hakim, baik pada hakikatnya, dia masih
hidup atau sudah mati. Sebagai contoh vonis mati yang dijatuhkan pada
seseorang, padahal dia benar-benar masih hidup.
3.
Mati taqdiry (menurut dugaan) ialah suatu
kematian yang bukan haqiqy dan bukan huqmy, akan tetapi hanya sebagai dugaan
keras. Misalnya kematian seorang
bayi yang baru dilahirkan akibat
terjadinnya pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan terhadap ibunya
supaya minum racun. Kematian tersebut
hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dimana kematiannya juga dapat
disebabkan oleh hal lain.[9]
3. Ahli waris atau
penerima warisan
Penerima
warisan adalah orang yang akan menerima harta warisan dari pewaris disebabkan
mempunyai hak-hak untuk menerima warisan. Seperti
keluarga, namun tidak semua keluarga dari pewaris
dinamakan ahli waris. Begitu pula orang yang berhak menerima warisan mungkin
saja diluar ahli waris.
Sebagai mana
yang diterangkan dalam surah An-Nisaa’ ayat 8.
واذا حضرالقسمة اولوا القربى
واليتمى والمسكين فارزقوهم منه وقولوا لهم قولا معروفا
Artinya : “ dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak
warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin maka berilah
mereka dari harta itu (pemberian sekadarnya itu tidak boleh lebih dari
sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik “.[10]
E. Penyebab Mendapat
Warisan
Penyebab
seseorang menerima warisan ada empat hal :
1.
Hubungan kekerabatan
Hubungan
kekerabatan ialah hubunga keturunan antara pewaris dengan ahli waris.
Kekerabatan ini terdiri dari keturunan ke bawah (al-furu’), keturunan ke
atas (al- ushul), dan keturunan kesamping (al-hawasyi).[11]
2.
Hubungan perkawinan
Hubungan
perkawinan dengan artian seorang suami menjadi ahli waris istrinya yang telah
meninggal dunia, begitu pula istri menjadi ahli waris suami ketika suaminya
telah meninggal dunia.
Perkawinan yang
menjadikan sebab timbulnya kewarisan antara suami dan istri memiliki dua syarat
:
a.
Perkawinannya sah menurut syariat Islam
Artinya, syarat
dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduannya telah berlangsung
akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi
syarat dan rukun pernikahanserta terlepas dari semua halangan pernikahan
walaupun belum kumpul.[12]
b. Perkawinannya
masih utuh
Artinya suami
istri masih terikat dalam tali perkawinan ketika salah satu dari mereka
meninggal dunia. Juga termasuk dalam
masalah ini ialah, apabila seorang suami meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam
bentuk talak rají dan perempuan masih dalam masa iddah.[13]
3. Hubungan sebab
Al-Wala’
Wala’ menurut
Sayid Sabiq ialah : kekerabatan yang disebabkan membebaskan budak wala’ul átaq
atau dihasilkan karena perwalian yang disebut walaúl muwalah, yaitu akad
anatara dua orang yang salah seorang diantara mereka tidak mempunyai ahli waris
nasabi (keluarga) kemudian berkata kepada seorang lainnya : engkau
adalah tuanku engkau adalah waliku, mewarisi hartaku apabila aku mati,
melakukan bebanku apabila aku melakukan tindakan pidana atau membayar diyat
apabila aku terkena pidana kesalahan karena pembunuhan atau yang lainnya, dan
akad tersebut manjadi kesepakatanpara pihak yang berjanji.[14]
Wala’ ini
menjadi ahli waris di dasarkan pada hadits nabi yang di riwayatkan Ibnu Hibban
dan Hakim yang berbunyi :
Wala’ mempunyai
bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian.
Selanjutnya
Sayid Sabiq menyatakan bahwa wala’ul muwalah termasuk menjadi sebab pewaris
menurut Abu Hanifah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan menurut
jumhur ulama’.[15]
4.
Hubungan sesama Islam
Hubungan sesama
Islam disini bisa terjadi jika seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan pada perbendaharaan umum atau
yang biasa disebut baitul maal yang akan digunakan oleh umat Islam.
Dengan demikian, harta orang Islam yang
tidak mempunyai ahli waris diwarisi oleh umat Islam.[16]
F.
Penghalang Mawaris
Hal-hal yang dapat menghalangi / menghilang ahli waris
sebagai berikut :
1.
Perbudakan
Setatus
seorang budak tidak boleh menjadi ahli waris, karena tidak cakap dalam mengurus
harta dan telah putus kekeluargaannya dengan kerabatnya. Bahkan ada yang
memandang budak itu sebagai milik tuannya. Dia tidak bisa mewariskan hartanya,
sebab ia sendiri tidak memiliki harta, karena harta yang ada pada dirinya ialah
milik tuannya.[17]
2.
Pembunuhan
Para
ahli hukum sepakat bahwa tindakan pembunuhan ahli waris terhadap
pewarisnya menyebabkan terhalangnya mewarisi harta warisan pewaris yang
dibunuhnya.
Mengigat
banyaknya bentuk pembunuhan para fuqaha berbeda pendapat. Fuqaha
aliran syafiyah berpendapat bahwa segala bentuk tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, adalah menjadi penghalang
baginya untuk mewarisi harta warisannya.
Sedangkan
menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang menjadi penghalang
mewarisi ada empat macam, yakni :
a. pembunuhan
dengan disengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan.
b. pembunuhan
mirip sengaja (syibhul ámdi),misalnya seorang melakukan penganiayaandengan
pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi ternyata yang dipukul meninggal
dunia.
c. pembunuhan
karena khilaf (qathlul khatthaí) misalnya seorang pemburu yang menembak mati
sesuatu yang dikira monyet, setelah didekati ternyata manusia. Atau seorang
yang latihan menembak tetapi meleset mengenai bapaknya yang berada di depannya.
d. pembunuhan
dianggap khilaf misalnya orang yang sedang membawa benda berat tanpa disengaja
terlepas jatuh mengenai saudaranya.[18]
3.
Berlainan Agama
Yang dimaksud
berlainan Agama ialah berlinannya agama pewaris dengan ahli waris. Mengenai
kelainan Agama ini telah menjadi
ijma’seuruh umat Islam. Hal ini dikarenakan hadits Rasulullah SAW :
“ Tidak
saling mewarisi sesuatu diantara dua orang yang berlainan Agama. Orang Islam
tidakmewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak mewarisi orang Islam. (H.R. Bukhari dan Muslim) “.[19]
4.
Berlainan
Negara
Yang dimaksud
berlainan Negara adalah berlainan atau perbedaan jenis pemerintahan. Mengenai
berlainan Negara menjadi penghalang perwarisan, para ulama telah sepakat bahwa
bahwa berlainan Negara bagi orang-orang islam tidak menjadi penghalang
pewarisan. Tetapi bagi non muslim mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan
tidak menjadi penghalang sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa berlainan
Negara tersebut menjadi penghalangpewarisan.[20]
Daftar Pustaka
http://www.makalahkuliah.com/2012/05/pengantar-fiqh-mawaris.html
Muhibbin Moh.,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Suparman
Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002
[1]
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Sinar Grafika. 2009:6
[4]
Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:8
[5] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya
Media Pratama. 2002:14
[9]
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Sinar Grafika. 2009:60
sok gaya
BalasHapusApa itu, itu adalah hal aku ,, bukan kamu .....
BalasHapus