T U G A S I N D I V I D U
R E S U M E T
A R E K A T
Dosen
Pengampu : M. Gito Soroso, M. Ag
Di Susun :
O
L
E
H
Nama
: Muhammad Taufiq
NIM
: 1111111171
Kelas
: III “ D “
TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN
)
KOTA PONTIANAK
Istilah Tarekat berasal dari kata “At-Thariq” yang artinya jalan
menuju kepada hakekat. Atau dengan kata lain pemgalaman syariat yang disebut”Al
Jaraa” atau “Al Amal’, sehingga Syeikh Muhammad Amin Al qurdy mengemukakan tiga
macam definisi, yaitu:
Pertama, Tarekat adalah prngalaman syari’at, melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibaeah yang seharusnya tidak boleh di perandah.
Kedua, Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak.
Ketiga, Tarekat adalah meninggalkan sesuatu yang haram dan makruh memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan disunahkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seseorang arif (syekh) dari (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Pertama, Tarekat adalah prngalaman syari’at, melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibaeah yang seharusnya tidak boleh di perandah.
Kedua, Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak.
Ketiga, Tarekat adalah meninggalkan sesuatu yang haram dan makruh memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan disunahkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seseorang arif (syekh) dari (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat itu
sendiri jalan yang bersifat spiritual bagi seseorang sufi yang di dalamnya
berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan
sifat-sifatnya di sertai penghayatan yang mendalam.
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat sebagai disebutkan Harun Nasution mengandung arti organisasi yang mempunyai Syekh. Guru dalam tarekat yang sudah melembaga disebut Mursyid atau Syekh dan wakilnya disebut kholifah. Adapun pengikutnya disebut murid.
Dan karena Tarekat itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang menjalankan tarekat itu harus menjalankan syari’at dan simurid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat sebagai disebutkan Harun Nasution mengandung arti organisasi yang mempunyai Syekh. Guru dalam tarekat yang sudah melembaga disebut Mursyid atau Syekh dan wakilnya disebut kholifah. Adapun pengikutnya disebut murid.
Dan karena Tarekat itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang menjalankan tarekat itu harus menjalankan syari’at dan simurid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari Ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syari’at
agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak
guru dan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai
kesempurnaan yang hakiki.
4. Terbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin guna wirid dan Do’a
untuk mencapai kemantapan dan kekhusuan dalam mencapai derajat yang paling
tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat
menodai amal.
Pada dasarnya tarekat mempunyai hubungan substansial dan fungsional
dengan tasawuf.Tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri
kepada Allah dan digunakan sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang Syekh.
Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat
sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaimana disebutkan di atas dengan
kata lain tarekat adalah tasawuf yang melembaga.
Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah
A. Sejarah dan
Perkembangan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah
Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah muncul sebagai sufi pada tahun 1850-an atas
kreatifitas Syaih sufi asal Kalimantan “Ahmad Khatib Sambasi”. Beliau pernah
bermukim di Makkah, Ia menyatukan dan mengembangkan metode spiritual 2 tarekat
sufi besar yakni Qadariyah-Naqsabandiyah menjadi 1 tarekat yang saling
melengkapi dalam mengantarkan seseorang pada pencapain spiritual, ajarannya
sama dengan tarekat sufi lainnya , yakni memberikan keseimbangan secara
mendalam bagi para anggotanya dalam menjalankan syari’at Islam dan memelihara
segala aspek didalamnya. Melalui metode-metode “psikolog-moral”, aliran
tersebut berusaha membimbing seseorang agar dapat memahami dan merasakan
hakikat beribadah kepada tuhannya secara sempurna serta membentuk kesadaran
kolektor dalam membangun kesatuan jama’ah spiritual dan moral. Secara tidak
langsug tarekat Qadiriyah –Naqsabandiyah telah membangun sistem sosial-organik
yang cukup kuat di kalngan masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Hal ini
dikarenakan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah selalu mengembangkan 43 aspek
tradisi yang terus diperkenalkan dan diajukan :
1. Ajaran Pusat Teladan (the doctrine of the exemplary centre) terhadap
guru spiritual oleh syaikh/ badalnya.
2. Ajaran Kerohanian Bertingkat (the doctrine of the graded centre) bagi
seluruh anggotanya dalam memasuki jenjang spiritual secara terbuka dan
kompetitif.
3. Ajaran tentang lingkungan dan wilayah ideal (the docrine of the theatre
centre), suatu zona yang meniscayakan nilai-nilai keagamaan dapat terlaksana
dan terpelihara dengan baik.
B. Dasar-dasar Tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah
Istilah tarekat diambil dari bahasa Arab “thariqah”, yang artinya jalan/
metode.
Dalam terminologis sufistik diartikan jalan/ metode untuk mencarai tujuan spiritual.
Sedangkan istilah Qadiriyah-Naqsabandiyah mengacu pada sebuah nama tarekat yang merupakan hasil rumusan atau formulasi dari Syaikh Ahmad Khatib Sambasi dari 2 sistem yang berbeda kemudian dijadikan 1 metode tersendiri yang praktis untuk menempuh jalan spiritual. Kegiatan ini pertama kali dilakukan sekitar abad ke-19 di Makkah, Tarekat ini bisa disebut juga dengan julukan “Tarekat Sambasiyah”, yang berinduk pada Qadariyah.
Semua tarekat dinamai dengan nama pengembangnya, tapi dalam hal ini Syaikh Ahmad Khatib Sambasi tampak agak berbeda dengan guru-guru tarekat di atas. Beliau sama sekali tidak tertarik ntuk menamakan tarekatnya dengan namanya sendiri, Ia lebih senang menamai tarekatnya dengan Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Ia mengerjakan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah secara terpisah, namun tetap dalam 1 kesatuan utuh yang harus diambilkan secara utuh, sekalipun masing-masing tarekat telah memiliki metode tersendiri. Sehingga tarekat baru tersebut memiliki perbedaan dengan kedua tarekat dasarnya.
Dalam terminologis sufistik diartikan jalan/ metode untuk mencarai tujuan spiritual.
Sedangkan istilah Qadiriyah-Naqsabandiyah mengacu pada sebuah nama tarekat yang merupakan hasil rumusan atau formulasi dari Syaikh Ahmad Khatib Sambasi dari 2 sistem yang berbeda kemudian dijadikan 1 metode tersendiri yang praktis untuk menempuh jalan spiritual. Kegiatan ini pertama kali dilakukan sekitar abad ke-19 di Makkah, Tarekat ini bisa disebut juga dengan julukan “Tarekat Sambasiyah”, yang berinduk pada Qadariyah.
Semua tarekat dinamai dengan nama pengembangnya, tapi dalam hal ini Syaikh Ahmad Khatib Sambasi tampak agak berbeda dengan guru-guru tarekat di atas. Beliau sama sekali tidak tertarik ntuk menamakan tarekatnya dengan namanya sendiri, Ia lebih senang menamai tarekatnya dengan Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Ia mengerjakan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah secara terpisah, namun tetap dalam 1 kesatuan utuh yang harus diambilkan secara utuh, sekalipun masing-masing tarekat telah memiliki metode tersendiri. Sehingga tarekat baru tersebut memiliki perbedaan dengan kedua tarekat dasarnya.
Tarekat Qadiriah didirikan oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhamad Abdul Qadir
Ibnu Abi Shalih Zangi Dost Al-Jilani (wafat 1166 M). Tarekat ini lebih mengacu
pada tradisi madzhab Israel yang dikembangkan oleh Junaidi, sedang pada Tarekat
Nasabandiyah didirikan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Muhammad Baha’udin Al-Uwaisi
Al-Bukhari An-Naqsabandiyah (wafat 1389 M), Tarekat ini mengacu pada tardisi
Khurasani yang dipelopori oleh Al-Bisthami. Keduanya mempunyai cara dan teknis
sendiri dalam penerapn dzikir mereka.
Penerapan dzikir dari tarekat Qadariyah adalah dengan lebih mengutamakan pada cara dzikir yang jelas (dzikir jahr) dalam menyebutkan kalimat nafyi waal-itsbat, yakni kalimat لااله الاالله sedang dalam Tarekat Naqsabandiyah dzikirnya menggunakan cara yang lembt dan samar (dzikit khafr) pada pelafalan isim dz-Dzat, yakni الله الله الله
Dalam penggabungan penyempurnaan, Syaikh Sambasi masih menggunakan metode dari Tarekat lainnya, sebagaimana diakui dalam risalahnya Fath Al-Arifin,”Semua Tarekat kami ini dibangun atas rangkaian huruf Naqthujimin, maka barang siapa tidak mendatangi kami dan mengambil dia(tarekat ini) dapa kami, dia pasti menyesal.”
Penerapan dzikir dari tarekat Qadariyah adalah dengan lebih mengutamakan pada cara dzikir yang jelas (dzikir jahr) dalam menyebutkan kalimat nafyi waal-itsbat, yakni kalimat لااله الاالله sedang dalam Tarekat Naqsabandiyah dzikirnya menggunakan cara yang lembt dan samar (dzikit khafr) pada pelafalan isim dz-Dzat, yakni الله الله الله
Dalam penggabungan penyempurnaan, Syaikh Sambasi masih menggunakan metode dari Tarekat lainnya, sebagaimana diakui dalam risalahnya Fath Al-Arifin,”Semua Tarekat kami ini dibangun atas rangkaian huruf Naqthujimin, maka barang siapa tidak mendatangi kami dan mengambil dia(tarekat ini) dapa kami, dia pasti menyesal.”
a. Huruf “nun” bermakna tarekat Naqsabandiyah
b. Huruf “qaf” bermakna tarekat Qadiriyah
c. Hurf “tha” bermakna tarekat Anfasiyah
d. Huruf “jim” bermakna tarekat Al-Junaidiyah
e. Huruf “mim” bermakna tarekat Al-Muwifaqah
Tarekat Naqsabandiyah berdzikir dalam diam dan menahan nafas, menghadirkan
lafadz الله
dalam hati. Tarekat Qadariah berdzikzir dengan nyaring, berdiri, dan duduk. Anfasiyah
berdzikir nyaring dengan peredaran nafas. Al-Junaidiyah membaca seperti :
a. حان الله 4000x (Ahad)
b. الحمد الله 4000x (Senin)
c. لااله لاالله 4000x (Selasa)
d. الله اكبر 4000x (Rabu(
e. لاحولا 4000x (Kamis)
f.
Shalawat (Jum’at)
g. Istighfar (Sabtu)
Muwafaqoh berwirid dengan asma’ul khusna dengan hitungan nama atau bia
disebut juga dengan Tarekat Samaniyah yang menghimpun semua tarekat di
dalamnya.
Pada tarekat Qadariyah-Naqabandiyah, nama Qadiriyah didahulukan dari nama Naqsabandiyah, hal tersebut didasarkan atas silsilah yang selalu digunakan khatib Sambasi ketika mengajarkan Tarekat ini pada murid-muridnya, karena Syaikh Syamsuddin yakni guru spiritual sambasi yang berasal dari Tarekat Qadiriyah yang tentu akan disebut lebih dahulu. Sehingga kemudian murid-muridnya Sambasi pun mengembangkan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia dengan bersumber pada silsilah tarekat Qadiriyah bukan tarekat Naqsabandiyah.
Pada tarekat Qadariyah-Naqabandiyah, nama Qadiriyah didahulukan dari nama Naqsabandiyah, hal tersebut didasarkan atas silsilah yang selalu digunakan khatib Sambasi ketika mengajarkan Tarekat ini pada murid-muridnya, karena Syaikh Syamsuddin yakni guru spiritual sambasi yang berasal dari Tarekat Qadiriyah yang tentu akan disebut lebih dahulu. Sehingga kemudian murid-muridnya Sambasi pun mengembangkan tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia dengan bersumber pada silsilah tarekat Qadiriyah bukan tarekat Naqsabandiyah.
C. Tujuan Pendirian Tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah
Tujuan berbagai tarekat oleh para sufi termasuk tarekat
Qadriyah-Naqsabandiyah sendiri semata-mata adalah untuk membina adan
mengarahkan hakikat tuhannya dalam kehidpan sehari-hari melalui pengalaman ibadahyang
terarah dan sempurna. Setiap tarekat memiliki perbedaan dalam menentukan metode
dan prinsip pembinaannya, meski demikian tujuan utama setiap tarekat akan tetap
sama , yakni “mengharapkan hakikat yang mutlak, Allah Azza wa Jalla.” Secara
umum tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan pada kehidupan akhirat yang
merupakan titik terakhir tujuan kehidupan manusia beragama. Oleh karena itu
Muhammad Amin al-Khudri (Naqsabandiyah), menekankan akan pentingnya seseorang
masuk ke dalam tarekat agar bisa memperoleh kesmpurnaan dalam beribadah
terhadap tuhannya.
D. Doktrin Ajaran dan
Pembinaan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah lebih tertarik untuk membaca manaqibnya
Syeikh Abdul Qadir Jaailani. Menurut Syeikh Abdul Qadir Jailani ajarannya
adalah untuk meluruskan atau memulihkan tujuan, karena tujuan memasuki dunia
tarekat merupakan tahap pertama dan paling utama dalam menentukan segala
aktivitas seseorang akan melakukan sesuatu.
Syaikh Abdul Qadir
jailani membedakan kelompok dalam tarekatnya yakni :
1. Sufi
Kelompok yang telah mencapai tujuan, kelompok pertama merek adalah mereka
yang berada dalam tahap perjalanan, sedang kelompok kedua mereka adalah
orang-orang yang sudah berada pada titik yang diharapkan.
2. Mutasyawwir (pemula)
Proses tahapan Mutasyawwir :
• Bersungguh-sungguh dan berkonsentrasi dalam mengendalikan diri, beribadah
kepada tuhan tanpa mengenal arah dan mengharap sesuatu, membersihkan jiwa dan
mengarahkannya dari kecenderungan dan kesibukan dengan selalu mengutamakan
Allah
• Berjuang memerangi hawa nafsu dan jiwanya berdasarkan aturan Allah,
meninggalkan harapan terhadap akhirat dan segala yang telah dijanjikan , karena
ibadah bukanlah karena itu, melainkan hanya karena cinta kepada Allah.
• Terbukanya pintu Qurbah yang menyampaikan seseorang muytawwif kepada
tuhan. Ia hilang dari tingkatan manusia dan memasuki hadirat kesatuan
at-Tauhid.
Sistem tarekat Qadiriyah menjadi dasar bagi lembaga tarekat
Qadiriyah-Naqdabandiyah, termasuk dalam aspek ideologi dan semacamya, sedangkan
tarekat Naqsabandiyah seakan memberi warna dan tatanan interior secara perfect.
11 dasar dikir dalam arekat Naqsabandiyah, 8 diantarana adalah rumusan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, dan 3 diantranya berasal dari Syaikh Baha’uddin an-Naqsabandi yakni :
11 dasar dikir dalam arekat Naqsabandiyah, 8 diantarana adalah rumusan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, dan 3 diantranya berasal dari Syaikh Baha’uddin an-Naqsabandi yakni :
1. Husyi dardam : kesadaran bernafas.
2. Nazhar barqadam : memerhatikan setiap gerak langkah.
3. Safar dar wathan : perjalanan spiritual dalam diri, denga berpindah
sifat.
4. Khalawat dar jumah : kesendirian dalam keramaian bengan tetap bersama
Allah.
5. Yar ard : peringatan kembali dengan mengulang dzikir.
6. Baz kasyt : menjaga pemikiran sendiri.
Syaikh Sambasi
merumuskan mengenai cara meresapi dzikir kepada Allah agar sampai pada tingkat
tau kesempurnaan, yakni sebagai berikut :
1. Berkonsentrasi dan membersihkan dirinya dari segala celah sehingga tidak
ada sesuatu pun selain dzat Allah, kemudian meminta limpahan karunia dan kasih
sayang serta pengenalan yang sempurna melalui perantara mursyid (syaith) tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah.
2. Megucapkan lafadz dzikir terutama nasyi’ wa itsbat لااله الااللهHendaknya salik menarik gerakan melampai 1 trayek
di badannya, dari pusa perut ke otak, kemudian ditarik ke atas bahu kanan, dan
dari sana dipukulkan dengan keras ke jantung, kepala juga ikut bergerak sesuai
trayek obsikur. Dari bawah keatas ditarik kalimat ” لا" dengan ukuran i mad, kemudian kata “اله”
ditarik ke bahu kanan dengan ukuran yang sama dan akhirnya “الاالله”dipukulkan ke
jantung dengan ukuran yang lebih lama 3 mad boleh dengan keras ataupun lembut.
3. Memusatkan dzikir pada titik halus (latha’if) dalam anggota badan.
E. Tahap menjalani tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiayah
Bai’at untuk memperoleh
status keanggotaan secara formal dengan mengikat perjanjian kesetiaan.
Kronologis bai’at :
1. Pertemuan antara mursyid dan murid.
2. Wasiat mursyid (talqin).
3. Pengesahan untuk diterima secara formal.
4. Pembacaan do’a oleh mursyid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar