SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
KOTA PONTIANAK
S O A L U J I A N
A K H I R S E M E S T E R ( U A S )
T
A F S I R T A R B A W I II
TELAAH
TEKS AL-QUR’AN
Dosen Pengampu : Luqman
Abdul Jabbar
Asisten
Dosen : Zulkifli, M. S.I
Oleh :
Nama : Muhammad Taufiq
Nim : 1111111171
Semester / Kelas
: IV ( Empat ) / IV D
SOAL UAS
MATA KULIAH TAFSIR
TARBAWI II
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI ( STAIN )
KOTA PONTIANAK
1. Lakukan Telaah atas Teks
Al-Qur’an ( QS. Al-A’raf : 179 atau Al-Hajj : 46, Al-Nahl : 78, Al-Mu’minun :
78, Al-Mulk : 23 dan atau Al-Sajadah : 9 ) melalui kitab tafsir Al-Mishbah
karya M. Quraish Shihab atau lainnya. Analisis dan ungkap secara gamblang hasil
pemahaman / telaah anda tersebut terkait tema tentang proses Transfer Of
Knowledge pada manusia dalam AL-Qur’an, anda dapat melakukan elaborasi teori
dengan kajian dan temuan ilmiah kontemporer.
2. Lakukan Telaah atas Teks
Al-Qur’an ( QS. Al-A’raf : 144 atau Thaha : 58, Al-A’raf : 111, Al-Syu’ara :
43, Al-Syu’ara : 46 dan atau Yunus : 81 ) melalui kitab tafsir Al-Azhar karya
Hamka atau lainnya. Analisis dan ungkap secara gamblang hasil pemahaman /
telaah anda tersebut terkait tema tentang Kisah Nabi Musa dalam AL-Qur’an, anda
dapat melakukan elaborasi teori dengan kajian dan temuan ilmiah kontemporer
dalam perspektif pensisikan.
Jawaban I :
1. Telaaah Surah Al-A’raf
a. Surah Al-A’raf : 179
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ.
Artinya: “Dan
sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan
manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah
orang-orang yang lalai”.
b. Telaah
Surah
Pikiran
Menurut Arti 'Aqal antara mufassir Ulama 'di salaf, tidak terlalu berani untuk
mendefinisikan atau ditafsirkan secara radikal. Mereka juga tidak mengambil
rasa pertanyaan sepenuhnya. Sebagian besar dari mereka menafsirkan pikiran
dalam Al-Qur'an dari luar.
Pembahasan
mengenai pikiran pada saat itu didominasi oleh para ulama 'kalam. Kata-kata
pikiran, arti tersendiri (lafdziyah) mengandung makna mengetahui, pemahaman,
dan pemikiran, yang terkandung dalam Al Qur'an bahwa seluruh menggunakan kata
kerja. Bab ini tidak akan mencakup penafsiran ayat-ayat yang menggunakan kata
'aqal. Seperti yang tercantum dalam surat Al-Hajj: 46, yang memahami dan
memikirkan qalb dada-sentris.
Untuk
menafsirkan arti kata, Ibnu Katsir tidak secara jelas menjelaskan yang berarti
pikiran, ia menafsirkan dengan bentuk verbal juga, sehingga mengikuti pikiran
kata dengan penafsirannya, sama seperti katanya dalam penjelasan ayat
sebelumnya (al-Hajj: 46).
Ibnu
Katsir memberikan penjelasan kepada kata "faya 'tabiruuna Biha", yang
terdiri dari pelajaran sebagai hasil dari proses berpikir yang dilakukan oleh
jantung. Pemahaman ini dapat dilihat dalam penggunaan fa 'yang mengikuti kata
"ya'tabiruuna Biha".
Selain
itu, penafsiran makna kata dalam paragraf sebelumnya adalah proses kerja yang
dilakukan oleh jantung (qalb), Ibnu Katsir tidak menjelaskan atau ditafsirkan,
bahwa proses berpikir dan mengambil pelajaran yang dilakukan oleh pikiran
sebagai postulat oleh para filsuf. Hal ini juga dapat dilihat dalam penafsiran
Ibnu Katsir dalam surah al-A'raf yang artinya :
“
Sudah sudah Kami mendesak kepada neraka banyak dari jin dan manusia, karena
hati Yang telah mereka tidak mengerti, dan memiliki mata yangtelah mereka tidak
melihat, dan memiliki telinga yang telah mereka tidak mendengar. Ini adalah
sebagai ternaknya, tetapi mereka lebih buruk, itu adalah lalai. "
Dalam
ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah menciptakan neraka harus diulang
untuk mayoritas laki-laki dan iblis, yang menderita serangan jantung, mata dan
telinga, tetapi mereka tidak dalam kepentingan para anggota badan yang
diciptakan oleh Allah sebagai dasar untuk petunjuk (Hidayah).
Dalam
kedua ayat (al - Hajj: 46 dan al-A'raf: 179), Ibnu Katsir tidak mengerti
penjelasan bahwa proses yang dilakukan oleh orang atau jenius membuat dengan
pikiran, yang didasarkan pada kepala, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ibnu
Katsir dalam mengikuti arti teks, yang mungkin berarti bahwa, dalam proses
berpikir, memahami, mengambil kelas adalah proses kerja jantung (qalb) yang
berhubungan dengan orang lain seperti yang dijelaskan dalam arti teks.
Dan ayat lainnya, yaitu
al-Baqarah yang artinya :
"Dan
apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka
mengatakan, Kami mengikuti mana kami mendapati nenek moyang kami. Apa! Meskipun
ayah mereka sepenuhnya bodoh dan tidak punya petunjuk? "
Ibnu
Katsir menjelaskan frase "la ya'qiluuna syai'an wa la yahtaduun"
bahwa mereka melakukan tidak memiliki visi dan arah. Tanpa penjelasan yang
dibuat oleh umum pemahaman, berdasarkan kepala, berarti bahwa Ibnu Katsir
mengikuti makna teks yang menjelaskan proses pemahaman dan pemikiran dilakukan
dengan hati (qalb) berpusat pada dada.
Menurut
Ibnu Katsir, Salat adalah pekerjaan yang paling penting bagi orang dengan umum
akal (Ulul Albab), berpikir dan tahu. Berpikir tentang makna menyembah Allah
dan syari'ah bahwa orang memiliki sifat ini adalah bagian dari pengikut setan
(Syaithan).
Dalam
surah itu, Ibnu Katsir menafsirkan kalimat (lafadz) "aqaluuhu" dengan
lafadz "Fahimuuhu" dalam arti bahwa beberapa dari mereka yang
menyimpang dari kelompok Yahudi memahami firman Allah. Artinya, menggunakan
pikiran untuk memahami Al Qur'an, tetapi mereka menempa.
Tanpa
memberikan penjelasan bahwa proses pemahaman dan pemikiran yang terletak
ditengah kepala. Ibnu Katsir juga menafsirkan ayat-ayat lain yang menjelaskan
tentang pikiran dalam lainnya surah, misalnya frase "la ta'qiluuna"
dalam surah al-Qashas: 60, al-Anbiya ': 10, Ali Imran: 65, dan surah Yunus: 16.
Pada ayat-ayat, Ibnu Katsir menafsirkan dengan beberapa pemahaman dalam kata
memahami, memikirkan, dan tahu tanpa menjelaskan siapa pekerja dari proses ini.
Sementara
Quraish Shihab, menafsirkan pikiran yang disebutkan dalam surah Al-Hajj: 46
dengan editorial "lahum qulubun ya'qiluuna Biha", ia mengatakan bahwa
mereka memiliki hati yang umum akal dan hati yang murni yang dapat Anda ambil
untuk memahami apa yang mereka lihat, atau jika mata mereka buta di atas kepala
mereka, mereka masih memiliki telinga untuk mendengarkan ayat-ayat Allah.
Dalam
salah satu buku yang ditulis oleh Quraish Shihab, katanya "Alquran
menggunakan kata untuk pikiran sesuatu yang berfungsi bahwa link atau mencegah
seseorang jatuh dalam kesalahan. Dengan menganalisis ayat yang berasal dari
kata 'aql, sesuatu dalam konteks di atas dapat berarti: (1) kekuatan untuk
memahami sesuatu seperti yang disebutkan dalam surah al-Ankabut: 43, (2)
dorongan moral yang seperti yang diambil dari surah al-An'am: 151, (3) kekuatan
untuk mengambil pelajaran, kebijaksanaan, dan kesimpulan dalam penulisan
al-Mulk: 10.
Surah
al-A'raf 175, dalam kaitannya dengan frase lahum qulubun Fahrurrozi mengatakan
bahwa ada dua hal dalam ayat ini. Dia mengatakan bahwa banyak teman-temannya
terhadap ayat tersebut sebagai referensi yang dilegalisir pandangan mereka
tentang perilaku manusia adalah makhluk. Tidak ada keraguan bahwa kafir (kafir)
menggunakan hati mereka untuk mendukung dalam akuisisi hal duniawi. Juga
memiliki mata yang bisa melihat dan telinga untuk mendengar pandangan dengan
hati-hati, tapi tidak kecil sebagai salah satu dari hati, mata dan telinga,
yang didukung dengan agama mereka.
Ayat
ini digunakan oleh ulama 'untuk referensi mereka (hujjah) menyimpulkan mana
tempat pengetahuan adalah hati. Jadi proses berpikir dan pemahaman yang
terletak di jantung. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam pemahaman surah
al-hajj, dan berpikir membuat melalui jantung dada-sentris. Juga dalam
ayat-ayat yang menjelaskan tentang, al-A'raf: 179 dan surah at-Taubah.
Selain itu, ayat ini
menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula
yang lain disesatkan Allah. Ayat ini juga berfungsi sebagai ancaman kepada
mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Ia menjelaskan bahwa mereka
yang kami kisahkan keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami
sesatkan adalah sebagian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi
keagungan dan kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi neraka
jahannam banyak sekali dari jenis jin dan jenis manusia karena kesesatan
mereka.
Hati, mata, dan
telinga orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan binatang karena
binatang tidak dapat menganalogikan apa yang dia dengar dan lihat dengan
sesuatu yang lain. Binatang tidak memiliki akal seperti manusia. Bahkan manusia
yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah lebih buruk. Sebab
binatang dengan instinknya akan selalu mencari kebaikan-kebaikan dan
menghindari bahaya, sementara manusia durhaka justru menolak kebaikan dan
kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada taranya.
Di dalam segala
bahasa terdapat perkataan hati, dan perkataan hati ini baik dalam bahasa Arab
bahasa al-Qur’an, atau dalam bahasa kita sendiri mempunyai dua arti, pertama
hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dadanya,
itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh.
Kemudian dipakai lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga “rasa hati” atau “hati kecil” atau “hati sanubari” atau “hati nurani”, sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berfikir ialah dari otak, bukan dari hati. Tetapi bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan fikiran nurani.
Kemudian dipakai lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga “rasa hati” atau “hati kecil” atau “hati sanubari” atau “hati nurani”, sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berfikir ialah dari otak, bukan dari hati. Tetapi bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan fikiran nurani.
Maksud ayat Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk neraka jahanam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati
(tetapi) tidak mahu memahami dengannya (ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai
mata (tetapi) tidak mahu melihat dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang
mempunyai telinga (tetapi) tidak mahu mendengar dengannya (ajaran dan nasihat);
mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah
orang-orang yang lalai.
Ayat diatas
menjelaskan bahwa : Allah telah
mengurniakan nikmat akal , hati
& pancaindera spt mata dan telinga kepada manusia & jin. Kebanyakan manusia tidak menggunakan hati, mata &
telinga yang dikurniakan dengan sebaik-baiknya. Allah menyifatkan manusia yang
tidak menggunakan nikmat AKAL, HATI
& PANCAINDERA ( untuk perkara
berfaedah spt . memikirkan kekuasaan Allah atau menggunakan pancaindera utk memenuhi nafsu syahwat mereka -) lebih hina
daripada binatang ternakan.
PERANAN PANCAINDERA DAN
AKIBAT PENYALAHGUNAANNYA
|
PERANAN / FUNGSI
NIKMAT ALLAH
|
CONTOH
PENYALAHGUNAAN NIKMAT ALLAH
|
Akal
[Berfikir]
|
§ Berfikir rahsia
& keunikan ciptaan Allah
§ Memahami &
mendalami ajaran Islam
|
§ Tidak mahu
memikirkan kejadian alam
§ Memesongkan maksud
al Quran & hadis
§ Tidak menuntut ilmu
berfaedah
§ Berfikir ingin
melakukan kerosakan dankemungkaran
|
Hati
[Memahami]
|
|
|
Mata
[Melihat]
|
§ Melihat &
merenung kehebatan alam ciptaan Allah
(utk membuktikan kewujudan Allah)
§ Mengawal pandangan
dari melihat perkara dilarang oleh Allah
|
§ Melihat perkara
yang diharamkan seperti melihat gambar pornografik, maksiat & keji
seperti melihat aurat lelaki atau wanita.
|
Telinga
[Mendengar]
|
|
|
PERBEDAAN
PENGGUNAAN NIKMAT PANCAINDERA ANTARA ;
Perkara
|
Manusia
|
Binatang
|
Akal
|
Manusia berfikir dan dapat memahami
|
Hanya dpt melihat dan mendengar tetapi tidak berfikir,
membuat kajian dan mengambil iktibar
|
Tugas
|
Beriman dan menjadi khalifah di muka bumi ini [ada akal]
|
- tidak ditugaskan beriman dan menjadi khalifah di muka
bumi ini [tiada akal]
-mereka hidup berpandukan tabie semata-mata
|
Ilmu
|
-Ada ilmu yang diperolehi dan potensi yang dimiliki,
manusia dapat melakukan perubahan demi perubahan
|
-makan tidur, bermain-main dan beranak pinak dan tidak
berpakaian
|
Jawaban
II :
2. Telaah Surah Al-A’Raf
: 144
a. Surah Al-A’Raf
قَالَ يَا
مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ
مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa,
sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu)
untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu
berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-A’raaf:144)
“Allah berfirman dalam Hadits
Qudsi kepada Nabi Musa : ‘ Hai Musa, engkau sekali-kali tidak akan dapat
melihat-Ku . Sungguh makhluq hidup pasti mati jika melihat-Ku, yang kering
pasti mengering kerontang, yang basah pasti akan bertaburan. Yang dapat
melihat-Ku hanyalah para penghuni surga yang tidak akan mati pandangannya dan
tidak akan hancur binasa tubuhnya’.” (Hadits Qudsi riwayat Al-Hakim dari
Ibnu Abbas r.a.)
Mungkin dapat saya simpulkan bahwa
semua makhluk di dunia ini memang tidak dirancang untuk dapat tahan melihat
Allah secara langsung. Baik itu sebuah gunung, apalagi manusia.
Namun di surga nanti, dimana segala hukum alam dan materi tidak berlaku,
dan segalanya memang telah dirancang oleh Allah sendiri untuk dapat
melihat-Nya, maka manusia pun akan dapat melihat Allah secara langsung. Hal ini
dijamin Allah bagi orang beriman yang masuk surga :
“Abu Musa r.a. berkata Rasulullah
bersabda Dua surga dari perak semua perabot dan bejananya dan dua surga dari
emas semua bejana dan alat-alatnya dan tidak ada hijab (tabir) antara mereka
dengan Tuhan untuk dapat melihatnya kecuali tabir kebesaran Allah dalam surga
Jannatu Adn” (H.R. Bukhari Muslim)
Dan memang inilah aturan
permainan di dunia. Manusia disuruh untuk mempercayai adanya Allah tanpa harus
menyaksikannya. Namun jika manusia tersebut beriman dan percaya, kemudian
ia masuk surga, maka kelak ia akan benar-benar dapat memnbuktikan adanya Allah
dengan mata kepalanya sendiri. Hal ini dijelaskan dalam hadits Qudsi berikut :
Malaikat Sayyarah datang menghadap
Allah setelah melihat hamba-hamba yang sholeh. “Kami baru datang dari
hadapan hamba-hamba-Mu yang rajin membaca tahlil, takbir, tahmid dan tamjid,
membesarkan dan mengagungkan nama Engkau’. Allah bertanya : ‘Apakah mereka
melihat-Ku ?’ Malaikat menjawab : ‘Tidak ya Allah, mereka tidak melihat-Mu’.
Allah bertanya : ‘Bagaimana seandainya mereka dapat melihat-Ku ?’’
Malaikat menjawab : ‘Seandainya mereka dapat menyaksikan Engkau, niscaya mereka
lebih tekun lagi dalam menyanjung dan memperbesar nama-Mu’.”)
Dalam masalah perjumpaan dengan Allah
dan memandang-Nya, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ada yang berpendapat
bahwa kita akan dapat melihat Allah sebagaimana cara kita melihat suatu benda
di dunia ini. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kita tidak tahu bagaimana
kelak cara kita memandang Allah, apakah seperti kita melihat binatang, atau
seperti melihat matahari atau seperti menonton film. Begitu pula apakah
memandangnya dengan mata kita seperti di dunia saat ini atau dengan mata yang
lain yang dirancang khusus agar dapat melihat Allah. Wallahu A’lam, hanya Allah-lah
yang tahu.
Namun Rasulullah menggambarkan cara kita melihat Tuhan
sebagai berikut :
Abu Said Al-Khudri berkata : Kami
bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah kami akan dapat melihat Tuhan pada ahri
qiyamat ?” Jawab Nabi SAW : “apakah kalian merasa silau melihat matahari atau
bulan ketika langir bersih tidak ada awan ?” Jawab kami “Tidak”. Maka Nabi SAW
bersabda :”Demikianlah kalian tidak akan silau melihat Tuhanmu di hari qiyamat
kecuali sebagaimana silaumu dalam melihat keduanya”(H.R. Bukhari Muslim)
Di
dalam Al-Qur’an Allah juga menyebutkan mengenai perjumpaan ini :
“Wajah-wajah kaum mu’min pada hari itu
berseri-seri. Kepada Rabb-nya lah mereka memandang” (Q.S. Al-Qiyaamah : 22
– 23)
Yang jelas itulah permainan di
dunia ini. Selama di dunia, manusia tidak dapat melihat Allah, surga maupun
neraka. Manusia telah dibekali otak untuk berpikir. Disamping itu Allah
telah memberikan kitab-kitab dan nabi-nabi untuk menjelaskan akan adanya
Allah dan hari kiamat. Manusia boleh percaya boleh tidak akan adanya Allah.
DengaNakal pikiran, manusia diminta untuk memikirkan hal ini. Namun
setiap pilihan ada konsekuensinya. Dan hasilnya, akan dibuktikan di
akhirat nanti.
Berkatalah orang-orang yang tidak
(sabar) menanti-nanti pertemuan dengan Kami. “mengapakah tidak diturunkan saja
kepada kita malaikat atau (mengapa) kita tidak melihat Tuhan kita
?”Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka
benar-benar telah melampaui batas dalam melakukan kezaliman.(Q.S. Al Furqoon :
21)
Rangkaian
kata itu dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan atau ekspresi suara
yang berturut-turut hingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya. Konteks kata
tersebut bisa ditelusuri dalam akar bahasa Arab.
Dalam
Alquran, misalnya surah al-A’raf ayat 144. Disebutkan kata bi kalami yang
ditujukan kepada Musa AS. Sedangkan, lafal kalam Allah pada surah al-Fath ayat
15 berarti janji atau ketentuan Allah yang wajib diikuti segenap manusia.
Ada dua
pengertian kalam sebagai kata benda, yaitu berbicara dan hukum (undang-undang).
Terkait makna yang pertama, sebagaimana disebutkan surah al-Baqarah ayat 75.
Sedangkan, pemaknaan yang kedua, yaitu kalam diartikan sebagai hukum, seperti
tertulis di surah at-Taubah ayat 6.
Sementara,
kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam Alquran, yang artinya berbicara
pada seseorang yang dikenai perbuatan. Ini seperti dikuatkan oleh pendapat Abu
Musa al-Asy’ari di kitab “Al-Ibanah”.
Sejalan
dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial keagamaan kala itu,
secara teknis kalam menjadi salah satu penamaan bagi ilmu. Ini kemudian disebut
dengan ilmu kalam. Awalnya, kalam sebagai ilmu berkorelasi dengan kajian
seputar kalam Allah, Alquran, dan sifat-sifat-Nya. Ada banyak istilah yang
lekat dengan ilmu kalam, yakni ilmu tauhid, ushuludin, ataupun ilmu aqaid.
Ada
banyak istilah yang lekat dengan ilmu kalam, yakni ilmu tauhid, ushuludin,
ataupun ilmu aqaid. Ilmu ini memang belum dikenal sebagai disiplin ilmu
tersendiri pada periode Rasulullah. Ilmu ini menjadi disiplin tersendiri ketika
satu persatu cabang ilmu bermunculan. Tepatnya, ketika pembicaraan soal
metafisika dan alam gaib banyak mengemuka di publik.
Sebagai
ilmu disiplin kalam berdiri sendiri pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika periode
Khalifah al-Ma’mun (218 H), para ulama bermazhab Muktazilah banyak menelaah
literatur filsafat.
Sebagian
besar referensi itu merupakan hasil terjemahan dari non-Islam. Kondisi tersebut
menciptakan suasana baru dalam dinamika ilmu kalam. Sebelum masa al-Ma’mun,
kajian kalam lebih dikenal dengan istilah fikih akbar (al-fiqh al-akbar).
Di
kalangan Barat, belakangan disi plin ilmu ini lebih dikenal dengan teologi
Islam. Ulama yang fokus pada cabang ilmu ini disebut dengan mutakallim. Ada
banyak alasan, mengapa cabang ilmu ini dinamakan dengan ilmu kalam.
Alasan
itu, antara lain, topik panas yang diperbincangkan pertama kali ialah soal
keazalian kalam Allah. Ke dua, pembuktian kepercayaan agama menyerupai logika
dan filsafat. Karenanya, disebut dengan ilmu kalam. Dasar argumentasinya pun
kerap bersifat rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar