TAFSIR TARBAWI II - TELA'AH TEKS A;-QUR'AN




 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
KOTA PONTIANAK
 

S O A L   U J I A N  A K H I R   S E M E S T E R  ( U A S )
T A F S I R   T A R B A W I   II
TELAAH   TEKS   AL-QUR’AN

Dosen Pengampu : Luqman Abdul Jabbar
Asisten Dosen : Zulkifli, M. S.I

Oleh :
Nama : Muhammad Taufiq
Nim      : 1111111171
Semester / Kelas : IV ( Empat ) / IV D






SOAL UAS
MATA KULIAH TAFSIR TARBAWI II
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
KOTA PONTIANAK

1.      Lakukan Telaah atas Teks Al-Qur’an ( QS. Al-A’raf : 179 atau Al-Hajj : 46, Al-Nahl : 78, Al-Mu’minun : 78, Al-Mulk : 23 dan atau Al-Sajadah : 9 ) melalui kitab tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab atau lainnya. Analisis dan ungkap secara gamblang hasil pemahaman / telaah anda tersebut terkait tema tentang proses Transfer Of Knowledge pada manusia dalam AL-Qur’an, anda dapat melakukan elaborasi teori dengan kajian dan temuan ilmiah kontemporer.

2.      Lakukan Telaah atas Teks Al-Qur’an ( QS. Al-A’raf : 144 atau Thaha : 58, Al-A’raf : 111, Al-Syu’ara : 43, Al-Syu’ara : 46 dan atau Yunus : 81 ) melalui kitab tafsir Al-Azhar karya Hamka atau lainnya. Analisis dan ungkap secara gamblang hasil pemahaman / telaah anda tersebut terkait tema tentang Kisah Nabi Musa dalam AL-Qur’an, anda dapat melakukan elaborasi teori dengan kajian dan temuan ilmiah kontemporer dalam perspektif pensisikan.







Jawaban I :
1.      Telaaah Surah Al-A’raf
a.      Surah Al-A’raf : 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ.
            Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”. 
b.      Telaah Surah
Pikiran Menurut Arti 'Aqal antara mufassir Ulama 'di salaf, tidak terlalu berani untuk mendefinisikan atau ditafsirkan secara radikal. Mereka juga tidak mengambil rasa pertanyaan sepenuhnya. Sebagian besar dari mereka menafsirkan pikiran dalam Al-Qur'an dari luar.
Pembahasan mengenai pikiran pada saat itu didominasi oleh para ulama 'kalam. Kata-kata pikiran, arti tersendiri (lafdziyah) mengandung makna mengetahui, pemahaman, dan pemikiran, yang terkandung dalam Al Qur'an bahwa seluruh menggunakan kata kerja. Bab ini tidak akan mencakup penafsiran ayat-ayat yang menggunakan kata 'aqal. Seperti yang tercantum dalam surat Al-Hajj: 46, yang memahami dan memikirkan qalb dada-sentris.
Untuk menafsirkan arti kata, Ibnu Katsir tidak secara jelas menjelaskan yang berarti pikiran, ia menafsirkan dengan bentuk verbal juga, sehingga mengikuti pikiran kata dengan penafsirannya, sama seperti katanya dalam penjelasan ayat sebelumnya (al-Hajj: 46).

Ibnu Katsir memberikan penjelasan kepada kata "faya 'tabiruuna Biha", yang terdiri dari pelajaran sebagai hasil dari proses berpikir yang dilakukan oleh jantung. Pemahaman ini dapat dilihat dalam penggunaan fa 'yang mengikuti kata "ya'tabiruuna Biha".
Selain itu, penafsiran makna kata dalam paragraf sebelumnya adalah proses kerja yang dilakukan oleh jantung (qalb), Ibnu Katsir tidak menjelaskan atau ditafsirkan, bahwa proses berpikir dan mengambil pelajaran yang dilakukan oleh pikiran sebagai postulat oleh para filsuf. Hal ini juga dapat dilihat dalam penafsiran Ibnu Katsir dalam surah al-A'raf yang artinya :
“ Sudah sudah Kami mendesak kepada neraka banyak dari jin dan manusia, karena hati Yang telah mereka tidak mengerti, dan memiliki mata yangtelah mereka tidak melihat, dan memiliki telinga yang telah mereka tidak mendengar. Ini adalah sebagai ternaknya, tetapi mereka lebih buruk, itu  adalah lalai. "
Dalam ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah menciptakan neraka harus diulang untuk mayoritas laki-laki dan iblis, yang menderita serangan jantung, mata dan telinga, tetapi mereka tidak dalam kepentingan para anggota badan yang diciptakan oleh Allah sebagai dasar untuk petunjuk (Hidayah).
Dalam kedua ayat (al - Hajj: 46 dan al-A'raf: 179), Ibnu Katsir tidak mengerti penjelasan bahwa proses yang dilakukan oleh orang atau jenius membuat dengan pikiran, yang didasarkan pada kepala, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ibnu Katsir dalam mengikuti arti teks, yang mungkin berarti bahwa, dalam proses berpikir, memahami, mengambil kelas adalah proses kerja jantung (qalb) yang berhubungan dengan orang lain seperti yang dijelaskan dalam arti teks.
Dan ayat lainnya, yaitu al-Baqarah yang artinya :
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka mengatakan, Kami mengikuti mana kami mendapati nenek moyang kami. Apa! Meskipun ayah mereka sepenuhnya bodoh dan tidak punya petunjuk? "
Ibnu Katsir menjelaskan frase "la ya'qiluuna syai'an wa la yahtaduun" bahwa mereka melakukan tidak memiliki visi dan arah. Tanpa penjelasan yang dibuat oleh umum pemahaman, berdasarkan kepala, berarti bahwa Ibnu Katsir mengikuti makna teks yang menjelaskan proses pemahaman dan pemikiran dilakukan dengan hati (qalb) berpusat pada dada.
Menurut Ibnu Katsir, Salat adalah pekerjaan yang paling penting bagi orang dengan umum akal (Ulul Albab), berpikir dan tahu. Berpikir tentang makna menyembah Allah dan syari'ah bahwa orang memiliki sifat ini adalah bagian dari pengikut setan (Syaithan).
Dalam surah itu, Ibnu Katsir menafsirkan kalimat (lafadz) "aqaluuhu" dengan lafadz "Fahimuuhu" dalam arti bahwa beberapa dari mereka yang menyimpang dari kelompok Yahudi memahami firman Allah. Artinya, menggunakan pikiran untuk memahami Al Qur'an, tetapi mereka menempa.
Tanpa memberikan penjelasan bahwa proses pemahaman dan pemikiran yang terletak ditengah kepala. Ibnu Katsir juga menafsirkan ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang pikiran dalam lainnya surah, misalnya frase "la ta'qiluuna" dalam surah al-Qashas: 60, al-Anbiya ': 10, Ali Imran: 65, dan surah Yunus: 16. Pada ayat-ayat, Ibnu Katsir menafsirkan dengan beberapa pemahaman dalam kata memahami, memikirkan, dan tahu tanpa menjelaskan siapa pekerja dari proses ini.
Sementara Quraish Shihab, menafsirkan pikiran yang disebutkan dalam surah Al-Hajj: 46 dengan editorial "lahum qulubun ya'qiluuna Biha", ia mengatakan bahwa mereka memiliki hati yang umum akal dan hati yang murni yang dapat Anda ambil untuk memahami apa yang mereka lihat, atau jika mata mereka buta di atas kepala mereka, mereka masih memiliki telinga untuk mendengarkan ayat-ayat Allah.
Dalam salah satu buku yang ditulis oleh Quraish Shihab, katanya "Alquran menggunakan kata untuk pikiran sesuatu yang berfungsi bahwa link atau mencegah seseorang jatuh dalam kesalahan. Dengan menganalisis ayat yang berasal dari kata 'aql, sesuatu dalam konteks di atas dapat berarti: (1) kekuatan untuk memahami sesuatu seperti yang disebutkan dalam surah al-Ankabut: 43, (2) dorongan moral yang seperti yang diambil dari surah al-An'am: 151, (3) kekuatan untuk mengambil pelajaran, kebijaksanaan, dan kesimpulan dalam penulisan al-Mulk: 10.
Surah al-A'raf 175, dalam kaitannya dengan frase lahum qulubun Fahrurrozi mengatakan bahwa ada dua hal dalam ayat ini. Dia mengatakan bahwa banyak teman-temannya terhadap ayat tersebut sebagai referensi yang dilegalisir pandangan mereka tentang perilaku manusia adalah makhluk. Tidak ada keraguan bahwa kafir (kafir) menggunakan hati mereka untuk mendukung dalam akuisisi hal duniawi. Juga memiliki mata yang bisa melihat dan telinga untuk mendengar pandangan dengan hati-hati, tapi tidak kecil sebagai salah satu dari hati, mata dan telinga, yang didukung dengan agama mereka.
Ayat ini digunakan oleh ulama 'untuk referensi mereka (hujjah) menyimpulkan mana tempat pengetahuan adalah hati. Jadi proses berpikir dan pemahaman yang terletak di jantung. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam pemahaman surah al-hajj, dan berpikir membuat melalui jantung dada-sentris. Juga dalam ayat-ayat yang menjelaskan tentang, al-A'raf: 179 dan surah at-Taubah.
Selain itu, ayat ini menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain disesatkan Allah. Ayat ini juga berfungsi sebagai ancaman kepada mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Ia menjelaskan bahwa mereka yang kami kisahkan keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami sesatkan adalah sebagian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi keagungan dan kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi neraka jahannam banyak sekali dari jenis jin dan jenis manusia karena kesesatan mereka. 
Hati, mata, dan telinga orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan apa yang dia dengar dan lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang tidak memiliki akal seperti manusia. Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah lebih buruk. Sebab binatang dengan instinknya akan selalu mencari kebaikan-kebaikan dan menghindari bahaya, sementara manusia durhaka justru menolak kebaikan dan kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada taranya.
Di dalam segala bahasa terdapat perkataan hati, dan perkataan hati ini baik dalam bahasa Arab bahasa al-Qur’an, atau dalam bahasa kita sendiri mempunyai dua arti, pertama hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dadanya, itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh.
Kemudian dipakai lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga “rasa hati” atau “hati kecil” atau “hati sanubari” atau “hati nurani”, sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berfikir ialah dari otak, bukan dari hati. Tetapi bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan fikiran nurani. 
Maksud ayat Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mahu memahami dengannya (ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mahu melihat dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mahu mendengar dengannya (ajaran dan nasihat); mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.
Ayat diatas menjelaskan bahwa : Allah telah  mengurniakan nikmat akal ,  hati & pancaindera spt mata dan telinga kepada manusia & jin.  Kebanyakan manusia tidak menggunakan hati, mata & telinga yang dikurniakan dengan sebaik-baiknya. Allah menyifatkan manusia yang tidak menggunakan nikmat  AKAL, HATI & PANCAINDERA (  untuk perkara berfaedah spt . memikirkan kekuasaan Allah atau menggunakan pancaindera utk  memenuhi nafsu syahwat mereka -) lebih hina daripada  binatang ternakan.



PERANAN PANCAINDERA DAN AKIBAT PENYALAHGUNAANNYA

PERANAN / FUNGSI
NIKMAT ALLAH
CONTOH PENYALAHGUNAAN NIKMAT ALLAH
Akal
[Berfikir]
§  Berfikir rahsia & keunikan ciptaan Allah
§  j0339222Memahami & mendalami ajaran Islam
§  Tidak mahu memikirkan kejadian alam
§  Memesongkan maksud al Quran & hadis
§  Tidak menuntut ilmu berfaedah
§  Berfikir ingin melakukan kerosakan dankemungkaran
Hati
[Memahami]
  • Menginsafi kelemahan & kekurangan diri berbanding Allah
  • Mengawal hati dari pujukan & rayuan syaitan
  • Teguhkan keyakinan kpd akidah yang benar
  • Lupa/lalai mengingati Allah & bertindak mengikut perasaan
  • Menolak suatu kebenaran
  • j0311798Tidak suka muhasabah diri
Mata
[Melihat]
§  Melihat & merenung kehebatan alam ciptaan Allah  (utk membuktikan kewujudan Allah)
§  Mengawal pandangan dari melihat perkara dilarang oleh Allah
§  Melihat perkara yang diharamkan seperti melihat gambar pornografik, maksiat & keji seperti melihat aurat lelaki atau wanita.
Telinga
[Mendengar]
  • Mendengar perkara berfaedah

  • Mendengar perkara yang haram didengar dan mungkar seperti umpatan dan fitnah

PERBEDAAN PENGGUNAAN NIKMAT PANCAINDERA ANTARA ;
Perkara
Manusia
Binatang
Akal
Manusia berfikir dan dapat memahami
Hanya dpt melihat dan mendengar tetapi tidak berfikir, membuat kajian dan mengambil iktibar
Tugas
Beriman dan menjadi khalifah di muka bumi ini [ada akal]

- tidak ditugaskan beriman dan menjadi khalifah di muka bumi ini [tiada akal]
-mereka hidup berpandukan tabie semata-mata
Ilmu
-Ada ilmu yang diperolehi dan potensi yang dimiliki, manusia dapat melakukan perubahan demi perubahan
-makan tidur, bermain-main dan beranak pinak dan tidak berpakaian

Jawaban II :
2.      Telaah Surah Al-A’Raf : 144
a.      Surah Al-A’Raf
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-A’raaf:144)
 “Allah berfirman dalam Hadits Qudsi kepada Nabi Musa : ‘ Hai Musa, engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku . Sungguh makhluq hidup pasti mati jika melihat-Ku, yang kering pasti mengering kerontang, yang basah pasti akan bertaburan. Yang dapat melihat-Ku hanyalah para penghuni surga yang tidak akan mati pandangannya dan tidak akan hancur binasa tubuhnya’.” (Hadits Qudsi riwayat Al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.)
Mungkin dapat saya simpulkan bahwa semua makhluk di dunia ini memang tidak dirancang untuk dapat tahan melihat Allah secara langsung. Baik itu sebuah gunung,  apalagi manusia. Namun  di surga nanti, dimana segala hukum alam dan materi tidak berlaku, dan segalanya memang telah dirancang oleh Allah sendiri untuk dapat melihat-Nya, maka manusia pun akan dapat melihat Allah secara langsung. Hal ini dijamin Allah bagi orang beriman yang masuk surga :
“Abu Musa r.a. berkata Rasulullah bersabda Dua surga dari perak semua perabot dan bejananya dan dua surga dari emas semua bejana dan alat-alatnya dan tidak ada hijab (tabir) antara mereka dengan Tuhan untuk dapat melihatnya kecuali tabir kebesaran Allah dalam surga Jannatu Adn” (H.R. Bukhari Muslim)
Dan  memang inilah aturan permainan di dunia. Manusia disuruh untuk mempercayai adanya Allah tanpa harus menyaksikannya. Namun jika manusia tersebut beriman dan  percaya, kemudian ia masuk surga, maka kelak ia akan benar-benar dapat memnbuktikan adanya Allah dengan mata kepalanya sendiri. Hal ini dijelaskan dalam hadits Qudsi berikut :
Malaikat Sayyarah datang menghadap Allah setelah melihat hamba-hamba yang sholeh. “Kami baru datang dari hadapan hamba-hamba-Mu yang rajin membaca tahlil, takbir, tahmid dan tamjid, membesarkan dan mengagungkan nama Engkau’. Allah bertanya : ‘Apakah mereka melihat-Ku ?’ Malaikat menjawab : ‘Tidak ya Allah, mereka tidak melihat-Mu’. Allah bertanya : ‘Bagaimana seandainya mereka  dapat melihat-Ku ?’’ Malaikat menjawab : ‘Seandainya mereka dapat menyaksikan Engkau, niscaya mereka lebih  tekun lagi dalam  menyanjung dan memperbesar nama-Mu’.”)
Dalam masalah perjumpaan dengan Allah dan memandang-Nya, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ada yang berpendapat bahwa kita akan dapat melihat Allah sebagaimana cara kita melihat suatu benda di dunia ini. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kita tidak tahu bagaimana kelak cara kita memandang Allah, apakah seperti kita melihat binatang, atau seperti melihat matahari atau seperti menonton film. Begitu pula apakah memandangnya dengan mata kita seperti di dunia saat ini atau dengan mata yang lain yang dirancang khusus agar dapat melihat Allah. Wallahu A’lam, hanya Allah-lah yang tahu.
Namun Rasulullah menggambarkan cara kita melihat Tuhan sebagai berikut :
Abu Said Al-Khudri berkata : Kami bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah kami akan dapat melihat Tuhan pada ahri qiyamat ?” Jawab Nabi SAW : “apakah kalian merasa silau melihat matahari atau bulan ketika langir bersih tidak ada awan ?” Jawab kami “Tidak”. Maka Nabi SAW bersabda :”Demikianlah kalian tidak akan silau melihat Tuhanmu di hari qiyamat kecuali sebagaimana silaumu dalam melihat keduanya”(H.R. Bukhari Muslim)
Di  dalam Al-Qur’an Allah juga menyebutkan  mengenai perjumpaan ini :
“Wajah-wajah kaum mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya lah mereka memandang” (Q.S. Al-Qiyaamah : 22 – 23)
Yang jelas itulah permainan  di dunia ini. Selama di dunia, manusia tidak dapat melihat Allah, surga maupun neraka. Manusia telah dibekali otak untuk berpikir. Disamping itu Allah telah  memberikan kitab-kitab dan nabi-nabi untuk menjelaskan akan adanya Allah dan hari kiamat. Manusia boleh percaya boleh tidak akan adanya Allah. DengaNakal pikiran, manusia  diminta untuk memikirkan hal ini. Namun setiap pilihan ada konsekuensinya. Dan hasilnya, akan dibuktikan di  akhirat  nanti.
Berkatalah orang-orang yang tidak (sabar) menanti-nanti pertemuan dengan Kami. “mengapakah tidak diturunkan saja kepada kita malaikat atau (mengapa) kita tidak melihat Tuhan kita ?”Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas dalam melakukan kezaliman.(Q.S. Al Furqoon : 21)
Rangkaian kata itu dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya. Konteks kata tersebut bisa ditelusuri dalam akar bahasa Arab.
Dalam Alquran, misalnya surah al-A’raf ayat 144. Disebutkan kata bi kalami yang ditujukan kepada Musa AS. Sedangkan, lafal kalam Allah pada surah al-Fath ayat 15 berarti janji atau ketentuan Allah yang wajib diikuti segenap manusia.
Ada dua pengertian kalam sebagai kata benda, yaitu berbicara dan hukum (undang-undang). Terkait makna yang pertama, sebagaimana disebutkan surah al-Baqarah ayat 75. Sedangkan, pemaknaan yang kedua, yaitu kalam diartikan sebagai hukum, seperti tertulis di surah at-Taubah ayat 6.
Sementara, kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam Alquran, yang artinya berbicara pada seseorang yang dikenai perbuatan. Ini seperti dikuatkan oleh pendapat Abu Musa al-Asy’ari di kitab “Al-Ibanah”.
Sejalan dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial keagamaan kala itu, secara teknis kalam menjadi salah satu penamaan bagi ilmu. Ini kemudian disebut dengan ilmu kalam. Awalnya, kalam sebagai ilmu berkorelasi dengan kajian seputar kalam Allah, Alquran, dan sifat-sifat-Nya. Ada banyak istilah yang lekat dengan ilmu kalam, yakni ilmu tauhid, ushuludin, ataupun ilmu aqaid.
Ada banyak istilah yang lekat dengan ilmu kalam, yakni ilmu tauhid, ushuludin, ataupun ilmu aqaid. Ilmu ini memang belum dikenal sebagai disiplin ilmu tersendiri pada periode Rasulullah. Ilmu ini menjadi disiplin tersendiri ketika satu persatu cabang ilmu bermunculan. Tepatnya, ketika pembicaraan soal metafisika dan alam gaib banyak mengemuka di publik.
Sebagai ilmu disiplin kalam berdiri sendiri pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika periode Khalifah al-Ma’mun (218 H), para ulama bermazhab Muktazilah banyak menelaah literatur filsafat.
Sebagian besar referensi itu merupakan hasil terjemahan dari non-Islam. Kondisi tersebut menciptakan suasana baru dalam dinamika ilmu kalam. Sebelum masa al-Ma’mun, kajian kalam lebih dikenal dengan istilah fikih akbar (al-fiqh al-akbar).
Di kalangan Barat, belakangan disi plin ilmu ini lebih dikenal dengan teologi Islam. Ulama yang fokus pada cabang ilmu ini disebut dengan mutakallim. Ada banyak alasan, mengapa cabang ilmu ini dinamakan dengan ilmu kalam.
Alasan itu, antara lain, topik panas yang diperbincangkan pertama kali ialah soal keazalian kalam Allah. Ke dua, pembuktian kepercayaan agama menyerupai logika dan filsafat. Karenanya, disebut dengan ilmu kalam. Dasar argumentasinya pun kerap bersifat rasional.

 


         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar