SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
KOTA PONTIANAK
T U G A S K E L O M P O K
SEJARAH
PERADABAN ISLAM
PERADABAN ISLAM PADA KERAJAAN PONTIANAK
Dosen Pengampu : Wahab
As-Sambasi, M. Ag
Oleh :
Nama : Muhammad Taufiq
Nim : 1111111171
Nama : Arif
Puji Atmoko
Nim : 1111111246
Semester / Kelas
: Genap / IV D
KATA PENGANTAR
Segala
puja dan puji hanya bagi Allah semata, sang pencipta alam semesta, yang selalu
melimpahkan karunianya, sehingga kami dapat merangkumkan makalah ini. sholawat
serta salam senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW. Beserta keluarganya dan para sahabatnya.
Makalah
ini di susun bertujuan untuk mengetahui tentang Sejarah Peradaban Islam Pada
Kerajaan Kota Pontianak, tujuan mempelajari, sejarah peradabannya, pertama kali
masuknya islam di Kota Pontianak, serta hal-hal yang berhubungan dengan Sejarah
Peradaban Islam di Kota Pontianak. Makalah ini kami buat dengan mengambil bahan
dari internet dan buku-buku yang
membahas tentang Sejarah Peradaban Islam pada Kerajaan Kota Pontianak.
Kami harap
setelah kami membuat makalah ini, pembaca bisa mengambil hikmah dan ilmu dari
mkalah ini, dan semoga penyajian makalah ini dapat membantu kita semua dalam mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Pontianak,
30 Mei 2013
Sejarah Peradaban Islam Pada Kerajaan
Pontianak
A. Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang
sejarawan Belanda, VJ. Verth dalam bukunya ''Borneos Wester Afdeling'', yang
isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat
saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah
1773 Masehi dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif
Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan
Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan
adik sultan Banjar Sunan Nata Alamdan dilantik sebagai Pangeran Syarif Pangeran. Ia
berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai
kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan
terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil
membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di
Pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba
mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan
Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan
yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.[1]
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah pendiri dan sultan
pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah /
1729 /
1730 , putra Al-Habieb Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari
Arab.
Setelah tiga bulan ayahnya wafat
(1184 H) di Mempawah, maka Syarif Abdurrahman mengajak kaum keluargannya
bermusyawarah untuk meninggalkan Mempawah. Mereka berangkat dengan menggunakan
empat belas kapal/perahu yang bernama “KAKAP”. Di malam gelap berhentilah
mereka untuk menunggu hari siang. Tempat peristirahatan mereka oleh penduduk
menamainya yang masih terkenal dengan sebutan “KELAPA TINGGI SEGEDONG”. Hampir-hampir
mereka mendirikan pusat kerajaannya di tempat ini. Karena tidak
sesuai dengan maksud Abdurrahman, berangkatlah mereka memutar haluan masuk
sungai kapuas kecil. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai kapuas kecil ke
daerah Batu Layang, tak henti-hentinya gangguan makhluk-makhluk halus, alias
hantu pontianak yang menakutkan itu. Adalah salah satu gangguan yang menghambat
perjalanan maju. Syarif Abdurahman yang berani berpengalaman itu mengambil
sikap tegas. Untuk melanjutkan perjalanan harus berhenti menunggu hari siang.[2]
Besok paginya, Syarif Abdurahman menembakkan peluru meriamnya. Ia
berkata : “ dimana peluru ini jatuh, disitulah kota kerajaan kita akan bangun.
Selain dari membangun Ibu Kota, ia pun bermaksud mau mengusir hantu-hantu
Pontianak pengganggu itu. Peluru telah berangkat mendahului mereka. Sekarang
mereka mengikutinya. Peluru telah diketemukan ditempat dimana Masjid “ JAMI’
SULTAN PONTIANAK ” sekarang ini. Pertama-tama mereka mendidirikan Masjid untuk
berbakti. Kemudian membangun keraton.[3]
Menurut pendapat Syarif Abdurahman bahwa tempat inilah yang paling
tepat, strategis perang dan perdagangan. Ditetapkannyalah tempat ini menjadi
Ibu Kota Kerajaannya.
Pontianak adalah sebagai kerajaan yang paling akhir didirikan di
Kalimantan Barat. Didirikan sezaman dengan pemerintahan Van Der Parra (
1761-1775). Gubernur jendral V.O.C yang ke 29. Pendirinya adalah putra sulung
dari Al-Habib Husin Al-Qadri yang bernama Pangeran Syarif Abdurahman. Menurut
panitia hari jadi Kota Pontianak, kota ini didirikan pada tanggal 23 Oktober
1771 ( 14 Rajab 1185 H ). Jelas bahwa kerajaan ini didirikan semasa Islam telah
berkembang di Kalimantan Barat.[4]
Sebelum Kota Pontianak didirikan pemuda Syarif Abdurahman telah
terkenal sebagai seseorang yang berjiwa Maritim. Persiapan yang
cukup meyakinkan bahwa Kota Pontianak yang didirikan dipersimpangan sungai
landak dan sungai kapuas kecil, yang dewasa itu ditutupi dengan hutan belukar.
Diisukan sebagai daerah angker dengan penghuninya hantu pontianak. Dipandang
dari sudut ekonomis dan agraris strategis maritim adalah sangat tepat. Buat
pemikiran ini dapat disaksikan dengan berkembangnya kota ini menjadi
pemerintahan dan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang baru berkembang
ini merupakan pusat imigrasi suku-suku bangsa Indonesia dan luar Indonesia.
Dilapangan Religi dan budaya ia merupakan basis penyebar agama Islam ke daerah
Hinterland dan merupakan pula pusat kebudayaan hasil proses akulturasi yang
telah berasimilasi dengan unsur-unsur kebudayaan melayu, jawa, bugis dan
lain-lainnya yang kemudian berintegrasi dengan kebudayaan asli daerah ini. Kota
yang terakhir muncul ini mendapat kehormatan untuk menerima dan memegang
supermasi dan hegemoni dalam segala bidang atas kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat.
Mengenai issue hantu Pontianak penghuni tempat mendirikan Masjid
dan Keraton Pontianak ( Tanjung Beting ) menurut tutur kata dan cerita tua-tua
kampung, bahwa ini benar-benar ada. Diwaktu Sultan Abdurahman mau membangun
Masjid yang pertama ditempat itu terdiri sebatang kayu besar yang ditebang
sebelum mendirikan Masjid tersebut. Karena persiapan untuk membangun Masjid,
mula-mula rombongannya membuat pondok-pondok beratap daun lalang untuk
sementara dalam pondok-pondok tersebut, tak kunjung henti penghuni atau hantu
Pontianak ini mengganggu ketentraman mereka. Jelas selama mereka menghuninya
tak pernah merasa aman. Selalu ada saja gangguan setan Pontianak.[5]
Terlahirlah suatu kota pada tanggal
24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kota
yang berdiri di daerah tropis. Asal mulanya kota tersebut datangnya rombongan
Syarif Abdurrahman Alkadrie yang membuka hutan di persimpangan tiga Sungai
Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas.
Hal ini dilakukan oleh
rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie untuk mendirikan balai dan rumah sebagai
tempat tinggal. terurai insiatif para rombongan untuk memberi nama tempat
mereka tinggal dengan nama PONTIANAK. Ya, terlahirlah nama kota tersebut yang
masih dikenal hingga kini.
Pada tahun 1192 Hijriah, Syarif
Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. yang letak
pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Raya Sultan Abdurrahman
Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis
Kecamatan Pontianak Timur.[6]
Adapun Sultan yang pernah memegang
tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah
dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah
dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari
tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah
dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah
dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah
dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah
dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah
dari tabun 1945-1950.
Syarif
Abdurrahman, yang kemudian menjadi pendiri Kesultanan Pontianak, adalah putra
Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab. Tiga bulan
setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif
Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat
kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti.
Waktu dhohor mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama
pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa
Tinggi Segedong.[7]
Namun Syarif
Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal
dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat
Syarif Abdurrahman dan rombongan sembahyang dhohor itu kini dikenal sebagai
Tanjung Dhohor.
Ketika
menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal
dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman
beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan
hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh
pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali
melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas. Menjelang subuh 14 Rajab 1184
Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan
Landak Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif
Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut
diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton
Pontianak.
Akhirnya pada
tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah, dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja
Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Tahun 1194
Hijriah (1773 Masehi), Belanda masuk ke daerah ini dari Betawi.
Kota ini terkenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis
lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat monumen
atau Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang tepat dilalui garis
lintang nol derajat bumi. Selain itu Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas
yang adalah sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas membelah kota
Pontianak , simbolnya diabadikan sebagai lambang Kota Pontianak.[8]
B. Masuknya Islam di Pontianak
Di
Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab
Bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulusungai Pawan, di
Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno.
Masuknya
Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie yaitu Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam
perspektif yang berbeda kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan
Ekonomi dan Perdagangan. Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam
disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga
tertarik pada perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.
Di Mempawah
Habib Husein Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau
menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid
Raja Mempawah Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan
Banjar diangkat menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian
menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib
Husein Al-Qadrie.
Umat Islam
pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf
Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah
berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam
menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya yang bernama
SultanSyarif[9]
Abdurrahman
Al-Qadrie, yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kehadiran
kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak
dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai
Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di sekitar
kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur, Kampung
banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di
daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada
jaman tersebut beliau adalah salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief
Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di lingkungan
Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada masa itu
sudah menyebarluas kewilayah Pontianak. Ustadz
Dza’far yang
kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri
cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah.
Daerah pertama di Kalimantan Barat yang
diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan
dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan antara tahun 1741,
1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief
Husein, seorang Arab. Versi yang lebih lengkap menyatakan, nama beliau adalah
Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa
Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid
Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan.
Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam,
putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15
Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan
Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama
terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.[10]
Melihat
keterangan di alas tampak bahwa islam masuk di Kalimantan Barat dibaw-a oleh
juru dakwah dari Negeri Arab. Ini sejalan dengan teori beberapa sejarawan
Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859), Neiman (1861), de Hollander
(1861), dan Verth (1878). Menurut mereka penyiar Islam di Indonesia (Nusantara)
berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori ini didukung pula oleh
sejarawan dan ulama Indonesia modern, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said
dan Syed Muhammad Naquib a( atlas (Malaysia).[11]
Memang ada teori lain yang menyatakan Islam di
Nusantara berasal dari anak Benua India, yaitu dari Gujarat dan Malabar yang
bermazhab Syafi’i. Teori ini dekemukakan oleh Pijnapel, seorang ahli sejarah
melayu dari Universitas Leiden, Belanda, yang mengemukakan teorinya tahun 1872,
yang menurut Azyumardi Azra diperkirakan diadopsi dari catatan perjalanan
Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Baturiah. Teori lainnya, menyatakan Islam di
Nusantara disebarkan oleh pedagang dan juru dakwah dari Benggala (Bangladesh)
sekarang, yang titian dakwahnya melalui Cina (Kanton), Pharang (Vietnam),
Lerang dan trengganu, Malasia. Teori ini dianut oleh Tome Pieres dan SQ Fatimi.[12]
Teori-teori diatas mungkin saja ada benarnya,
mengingat banyaknya wilayah pantai Nusantara yang menjadi pusat perdagangan dan
sekaligus penyiaran Islam. Tetapi melihat nama syarif Husein Al-Kadri dan
putranya Syarif Abdurrahman al-Kadri yang pertama kali membawa dan menyiarkan
Islam di Kalimantan Barat, maka tidak diragukan lagi untuk wilayah Kalimantan
barat saat itu pembawanya adalah juru dakwah dari Arab.
Tidak
dijelaskan secara pasti apakah Syarif Husein seorang pedagang atau Ulama karena
diatas disebutkan aktifitasnya sebagai Ulama mencapai 20-an tahun. Tetapi
diperkirakan, mulanya ia memang seorang pedagang, sebagaimana tipologi orang
Arab pada umumnya, tetapi dimasa tuanya lebih memfokuskan sebagai Ulama atau
juru dakwah. Sedangkan aktivitas dan bakat sebagai pedagang diwariskan kepada
putranya, Syarif Abdurrahman al-kadri.
Terbukti sewaktu mudanya
Syarif Husein al-Kadri aktif berdagang mengelilingi daerah-daerah di Sumatera
seperti Tambilahan, Siantan, Siak, Riau dan Palembang, juga dikawasana
Kalimantan, seperti Banjar Kalimantan Selatan dan Pasir di Kalimantan Timur. Bahkan
ia juga berhubungan dagang dengan para pedagang Indonesia lainnya dan pedagang
mancanegara, seperti dari Arab, India, Cina, Inggris, perancis dan belanda.
Dari pengalaman dan kesuksesannya berdagang, ia membangun armada dagang yang
kuat yang dilengkapi persenjataan serta kapal-kapal yang tangguh, yang dipimpin
seorang sahabatnya bernama Juragan Daud.
Jadi masuknya Islam di Kalimantan Barat
berjalan secara alami: Habib Husein al-Kadri sebagai juru dakwah pertama,
dilanjutkan oleh putranya Syarif Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah
lainnya. Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas
ekonomis juga digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki
kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi
semakin berhasil, ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya. Walaupun
bagi Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri,
Kalimantan barta bukan merupakan daerah pertama yang didatanginva. Dan rentetan
kronologi sampai akhirnya beliau menetap dan memusatk~ul dakwah di Kalimantan
Barat.[13]
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Trim
Hadramat Arabia. Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang memadai,
atas saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga orang
kawannya untuk mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka tiba di Aceh.
Sambil berdagang mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan
ke Betawi (Jakarta) sedanglan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh,
Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid Muhammad bin Ahmad
al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di betawi selama 7
bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun
1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang) Kalimantan Barat dan
diterima di Kerajaan Matan.
Seiring
dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat
sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M ia diangkat sebagai
Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas togas sebagai Mufti, beliau
sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke
Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar
Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.[14]
C. Bentuk-bentuk Peradaban Islam di Pontianak
1.
Keraton
Kadiriyah
Masuknya Islam di Kota
Pontianak tidak bisa dilepaskan dari Keraton Kadiriyah. Bahkan, keraton ini
ikut membidani lahirnya kota yang dilewati garis ekuator ini. Keraton Kadiriyah
didirikan oleh Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri yang merupakan saudagar dan kerap
melakukan perjalanan perdagangan ke berbagai negara. Menurut sejarahnya,
Keraton Kadiriyah dibangun tahun 1771 M dengan luas sekitar 60 x 25 meter
dengan terbuat dari kayu belian pilihan.
Kendati usianya telah
ratusan tahun lebih, tapi keberadaan keraton hingga kini masih menjadi
kebanggan masyarakat. Bahkan, tempat ini menjadi salah satu desteni sejarah
yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Seperti ketika hidayatullah.com mengunjunginya beberapa waktu lalu. Nuansa keraton masih sangat terasa.
Terlihat simbol keraton di beberapa sudut kota. Salah satunya yang berada di
pintu gerbang gapura dekat jalan raya besar, tempat masuknya keraton. Terlihat
ucapan tahniah selamat datang dan salam dari Keraton Kadiriyah. Ucapan
itu dilengkapi ukiran yang indah.
Lebih jauh, nuansa itu
akan terasa ketika berada di lokasi ini. Ada sebuah pintu gerbang kuno berwarna
kuning. Pintu gerbang dibangun dengan tembok tebal dengan atap di bagian
atasnya. Terlihat tulisan Allah dan Muhammad di sisi kanan dan kiri. Sedangkan
di tengahnya sebuah simbol topi raja. Yang membuat kesan kuno gerbang ini
adalah dua meriam bekas yang terdapat di depannya.
Meriam itu tidak saja berada
di depan pintu gerbang keraton. Meriam berwarna kuning juga berada tepat
di depan keraton. Meriam kuno yang sebagiannya sudah karatan itu menghadap ke
atas. Terlihat moncongnya yang siap memuntahkan pelurunya. Konon, meriam itu
buatan Portugis dan Perancis. Setidaknya, di sekitar keraton ini ada kurang
lebih tiga belas meriam.
Bentuk keraton ini
terbilang unik. Sangat kental nuansa klasiknya. Arsitekturalnya bernuansa
lokal. Belum tersentuh gaya asing. Bagian depan keraton ini berupa bangunan
tingkat. Ada tulisan Muhammad dengan huruf Arab serta gambar bintang dan bulan
sabit. Sedangkan di bagian atasnya terdapat tulisan dengan bahasa Arab melayu:
“Istana Kadriyah.”
Keraton Kadiriyah
terbuat dari kayu belian yang kokoh. Karena itu, meski usianya sudah ratusan
tahun, tapi masih kuat. Hanya terlihat beberapa bagiannya yang mulai rapuh dan
catnya yang mulai pudar. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi keelokan
keraton tua ini.
Hidayatullah.com pun disambut Syarifah,
salah satu penghuni keraton ini ketika hendak masuk dan mengetahui lebih detil
isinya. Katanya, ia masih memiliki hubungan darah atau cucu dari Shultan ke
enam keraton tersebut. Dan, yang boleh tinggal di dalam keraton adalah yang memiliki
garis keturunan dengan Shultan. Keraton sendiri kata Syarifah sangat berjasa
terhadap perkembangan Islam di bumi Pontianak.
“Perjuangan para
Shultan sungguh sangat luar biasa. Mereka tidak saja melawan penjajah tapi juga
hantu yang paling menakutkan,” tuturnya.
Dalam melawan penjajah itu, katanya, banyak keluarga keraton yang
terbunuh. Syarifah masih sangat ingat, ketika masih kecil, ia melihat beberapa
saudaranya yang meninggal dibunuh penjajah. Ia sendiri ketika itu lolos karena
diselamatkan oleh salah seorang saudaranya. “Ketika itu banyak keluarga
saya yang mati dibunuh, ditembak oleh penjajah Jepang. Benar-benar tragis,”
katanya.[15]
Jadi, keraton Kadariyah merupakan suatu peradaban yang pertama yang
melambangkan bahwa islam sudah berkembang di pontianak pada masa itu. Yang
diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang pada saat itu
sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah terlebih
dahulu menetap di Kerajaan Mempawah.
2.
Masjid Jami
Pendiri masjid Jami’ sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang
pentebar agama Islam dari Jawa. Al-Habieb Husein datang ke Kerajaan Maratam
pada 1733 Masehi. Al-Habib Husein menikahdengan putri Raja Matan (kini
Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaluddin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu
lahirlah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan
agama Islam.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruturnya dari kayu.
Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putra bernama Syarif
Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga
belum bisa meneruskan pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman,
bernama Syarif Kasim. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan
dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang
jasa-jasa ayahnya. Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama islam di
masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Mereka diantaranya Muhammad al-Qadrie. Habib
Abdullah Zawawi, Syrkh Zawawi, Syekh Madani, H.Ismail Jabbar, dan H. Ismail
Kelantan.
Masjid jami’ pontianak dapat menampung sekitar 1500 jamaah shalat.
Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat jum’at dan terawih
ramadhan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradonal. Di
belakangya merupakan pemukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam
Bugis dan dibangun depan masjid yang juga mengahadap ke barat, terbentang Sungai
Kapuas.[16]
Jika melihat ke bagiandalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu
blian berdiameter setengah meter. Dan peluksan tangan orang dewasa tak akan
mampu mencapai lingkaran pilar. Selain piloar bundar, juga ada enamn tiang
penyangganya yang mwnjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar. Pilar bujur sangkar itu berukuran kayu belian
untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya di atas rata-rata. Jika sekarang
ada ukuran 6X6, 7X7, 8X8 dan 10X10 maka tiang tersebut lebih besar lagi. Masjid
itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi
kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon. Hampir
90% konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Atapnya yang semula
dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan belian berukuran tipis. Atapnya
bertingkat empat. Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran
kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau stupa.
Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari
kaca tembus pandang. Ada pula kaca yang berwarna merah dan kuning.
Masjid Jami’ ini sengaja dibuat untuk mengenang jasa-jasa Syarif
Abdurrahman yang telah menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam sangat mudah
untuk diterima dan menjadi agama yang mayoritas, sehingga masjid tersebut
diberi nama Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dan dengan mendirikan masjid maka
dapat membuktikan bahwa Islam pada masa awal penyebarannya sudah dapat diterima
masyarakat setempat dan menjadikannya sebagai pusat penyebaran Islam.[17]
3.
Makam Batu
Layang
Makam Batu Layang juga biasa disebut Taman Makam dari Kerajaan
Pontianak, mulai dari Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie)
hingga Raja Terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini
biasanya ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak
kuarang lebih dari 2 kilometer dari Tugu
Khatulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun
transportasi air (sampan).
Makam Batu Layang juga dapat dikatakan menjadi salah satu bentuk
Peradaban Islam di Pontianak mungkin dikarenakan tempat ini merupakan tempat
dimana pahlawan agama Islam dimakamkan dan mereka merupakan penyebar ajaran
Islam sehingga Islam sangat berkembang pada masa itu hingga sekarang manjadi
agama yang mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini dijadikan tempat
atau sebagai bentuk peradaban islam di kota Pontianak. Makam ini pula yang
menjadi petanda kalau di Pontianak pernah ada orang-orang yang memang berjasa
dalam menyebarkan Islam di kota Pontianak, sehingga menjadi salah satu bentuk
peradaban Islam di Pontianak.[18]
4.
Bidang
Pendidikan
Madrasah yang pertama didirikan di Pontianak yaitu Madrasah
Al-Raudatul Islamiyah didirikan pada tahun (1936). Madrasah ini terdiri dari
dua bagian :
1.
Bagian
Ibtidaiyah, lama pelajarannya 6 Tahun ( 6 Kelas ).
2.
Bagian
Tsanawiyah, lama pelajarannya 3 Tahun ( 3 Kelas ).
Pelajarannya ialah ilmu-ilmu agama dan ditambah pengetahuan umum.
Sebagai ketua pengurus Madrasah ini ialah H. Ustman, H. Abdurrahim dan kepala
madrasah A. Rani Mahmud dan wakilnya Abdul Hamid.[19]
Perkembangan berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam yang
menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak,
antara lain
1.
Yayasan Pendidikan
Bawari ( Badan Waqaf Al-Madrasah Raudatul Islamiyah )
2.
Yayasan
Pendidikan Islamiyah
3.
Yayasan
Pendidikan Bawamai ( Badan Waqaf Al-Madrasah Al-Arabiyah Islamiyah )
4.
Yayasan
Pendidikan Muhammadiyah
Ulama yang sangat berperan penting dalam membentuk dan mengembangkan
pendidikan Islam di era era tahun enam puluhan dan sampai delapan puluhan di
Pontianak diantarannya adalah:
1.
Haji Ismail
bin Abdul Karim alias Ismail Mundu
(Mufti Kerajaan Kubu)
2.
Syech Abdullah
Zawawi (Mufti Kerajaan Pontianak)
3.
Syech Sarwani
4.
Habib Muksin
AlHinduan (Tharekat Naqsabandiyah)
5.
Syech
H.Abdurrani Mahmud (Ahli Hisab)
6.
Habib Saleh
AlHaddat
7.
Haji Abdus
Syakur Badri alias Haji Muklis
8.
Haji Ibrahim
Basyir alias Wak Guru
Jadi,
Bidang pendidikan dijadikan sebagai salah satu bentuk peradaban Islam di
Pontianak, dikarenakan dengan semakin berkembangnya agama Islam di Pontianak
maka juga diperlukan organisasi pendidikan untuk mengenal atau menjadi wadah
dalam mengajarkan pendidikan Islam pada generasi penerus.
D. Peradaban Islam pada Kerajaan Pontianak
Dalam kerajaan Pontianak ini banyak mengundang perhatian kita
semua, itu terlihat dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang mempunyai
nilai sangat tinggi bagi daerah Pontianak. Ini menandakan bahwa Peradaban Islam
pada waktu itu memang sudah ada, salah satunya ialah Keraton Kadariyah yang
dibangun pada tahun 1771 oleh Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie. Ini bukan
sembarang keraton. Berbagai jenis artefak, benda-benda bersejarah, dan
perlengkapan furnitur tempo dulu masih menjadi koleksi keraton yang terbuat
dari kayu kokoh tersebut.
Sebelum memasuki keraton, coba amati gerbangnya. Konon, untuk
melekatkan tumpukan-tumpukan bata yang menyusun dinding gerbang tersebut, para
pekerja menggunakan campuran putih telur. Sayangnya, sampai sejauh ini belum
ada keterangan resmi mengenai kebenaran kisah tersebut. Namun yang jelas,
terlepas benar-tidaknya penggunaan putih telur tersebut, gerbang keraton itu
hingga kini masih tampak kuat, gagah perkasa.
Kejanggalan lainnya dari sekian banyak koleksi benda kuno milik
Keraton Kadariah adalah sebuah Meriam Timbul. Meriam berwarna kuning ini konon
memiliki keistimewaan tersendiri. Bayangkan, ia tidak tenggelam kendati berada
di dalam air. Ketika ditemukan di Sungai Kapuas misalnya, meriam tersebut dalam
kondisi tidak tenggelam, namun malah melayang-layang. Aneh bin ajaib, sebagian
benda yang seluruhnya terbuat dari besi tersebut muncul ke permukaan. Karena
itulah masyarakat lokal menamakannya sebagai Meriam Timbul.
Peradaban Islam lainnya yaitu berupa bangunan bersejarah yang
berdiri kokoh sampai sekarang dan mendapatkan julukan sebagai masjid tertua dan
terbesar di Pontianak yaitu Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Arsitekturnya
tergolong unik, gabungan antara Eropa, Timur Tengah, dan budaya lokal. Corak
arsitektur bergaya Eropa dapat dilihat dari bentuk pintu dan jendela yang
berukuran besar. Sedangkan gaya Timur Tengah diekspresikan pada bagian mimbar
yang berbentuk kubah.
Sementara itu, corak lokal tecermin dari konstruksi bangunan masjid
yang terbuat dari kayu khas Pontianak, yakni kayu belian. Enam tonggak
masing-masing berdiameter 60 cm yang digunakan sebagai penyangga ruangan masjid
juga terbuat dari kayu belian berkualitas prima. Perpaduan ketiga corak
arsitektur inilah yang menjadikan Masjid Jami Pontianak menebarkan pesona bagi
umat Islam. Bersujud di masjid tersebut terasa menenteramkan hati dan
menenangkan pikiran.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Anshar rahman,
et al., Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif sejarah beridirinya kota
Pontianak, (Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000)
Anshar rahman, et al., Syarif Abdurrahman
al-Kadri, Perspektif sejarah beridirinya kota Pontianak, Pontianak: Pemerintah
Kota Pontianak, 2000.
Djatiwijono, Monografi kelembagaan islam di
dunia, Proyek pembinaan kerukunan hidup beragama departemen agama
indonesia: Jakarta, 1982.
Khairi
Syaf`ani, “Meneladani Kearifan Ulama Terdahulu“, Buletin al-Harakah Edisi 5l,
(Banjarmasin: LK3. 2006).
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)
Sejarah hidup Muhammad- alih bahasa Ali Audah, (Jakarta Litera
Antamusa, 1990)
Wahab As-Sambasi, Sejarah Peradaban Islam, STAIN
Pontianak PRESS : Pontianak, 2011.
[2] J.U. Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kal-Bar,
(Jakarta: Offset BumiRestu, 1975), hlm 230-233 )
[3] Ibid,
hlm 230-233
[4] Ibid,
hlm 230-233
[5] Ibid,
hlm 230-233
[6] Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif
sejarah beridirinya kota Pontianak, Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000, hlm. 76-77.
[9] Wahab
Sambasi, Sejarah Peradaban Islam, Pontianak, Stain Pontianak Pres, 2011,
hlm:218
[10] Anshar
rahman, et al., Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif sejarah beridirinya
kota Pontianak, (Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000) hlm. 3
[11] Khairi
Syaf`ani, “Meneladani Kearifan Ulama Terdahulu“, Buletin al-Harakah Edisi 5l,
(Banjarmasin: LK3. 2006). hlm.
1.
[12] Anshar
Rahmat, hlm 4.
[13] Sejarah
hidup Muhammad- alih bahasa Ali Audah, (Jakarta Litera Antamusa, 1990),. Hlm. 4
[14] Anshar
Rahman, hlm. 5-6
[16] A.Wahab,
Sejarah Peradaban Islam, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012), hlm
228-229.
[17] Ibid,
hlm 230.
[18] Ibid,
hlm 231
[19] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008),
cet III, hlm 383.
[20] http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/75944
dari IAIN mantap juga
BalasHapus